HomeCelotehJokowi dan Rage Against The Machine

Jokowi dan Rage Against The Machine

[Seri pemikiran Kishore Mahbubani #35]

Kekuasaan Donald Trump yang telah berakhir disebut-sebut bisa terwujud karena mampu mengkapitalisasi kemarahan kelompok masyarakat dengan pendapatan terendah. Sementera, sekalipun kalah pada Pilpres 2020, Trump juga masih meraih 74,2 juta suara – jumlah tertinggi yang pernah diraih oleh kandidat dari Partai Republik. Lalu, apakah konteks kemarahan terhadap kapitalisme ini yang oleh beberapa pihak disebut sebagai rage against the machine terjadi juga di Indonesia?


PinterPolitik.com

Amerika Serikat (AS) saat ini bisa dibilang tengah memasuki fase baru, terutama pasca kekalahan Donald Trump dalam kontestasi elektoral dari Joe Biden yang kini duduk sebagai presiden negara tersebut. Pasalnya, negara Paman Sam ini tengah dihadapkan pada pilihan pembuatan kebijakan yang serba antitesis terhadap apa yang dilakukan oleh Trump di periode sebelumnya.

Hingga akhir Feruari 2020 lalu, Biden telah menandatangani 50 executive actions – semacam instruksi presiden – dengan sekitar 22 di antaranya merupakan kebalikan dari kebijakan Donald Trump. Mayoritas dari executive actions itu mengatur soal penanganan pandemi, imigrasi dan kesetaraan.

Namun, sekalipun Trump telah kalah, perdebatan tetap muncul terkait besaran dukungan yang diterima oleh kandidat dari Partai Republik tersebut. Trump memperoleh sekitar 74,2 juta suara, berbanding 81,2 juta suara milik Biden. Jumlah yang diraih Trump ini bahkan jauh lebih tinggi dibandingkan perolehan suara popular vote Hillary Clinton pada Pilpres 2016.

Tidak heran banyak yang kemudian menyebutkan bahwa pengusaha real estate itu sebetulnya masih mempunyai basis dukungan yang sangat besar di akar rumput, terutama dari kelompok pemilih kulit putih dengan ekonomi terbawah.

Menariknya, beberapa studi menyebutkan bahwa para pemilih Trump ini justru berasal dari kalangan terbawah dalam piramida ekonomi AS alias kelompok 50 persen masyarakat dengan pendapatan paling rendah di negara tersebut. Setidaknya Trump mampu menjaga persepsi dari kelompok mayoritas kulit putih ini. Ini memang cenderung paradoksal, mengingat ia adalah seorang multi miliarder yang sangat kaya, namun justru mendapatkan dukungan dari kelompok masyarakat terbawah.

Pertanyaannya adalah bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi? Benarkah ini merupakan fenomena ujung dari luapan kemarahan yang terjadi akibat kondisi ekonomi negara tersebut – terutama dari kelompok 50 persen ke bawah – yang dianggap makin merugikan mereka? Kemudian seperti apa pandangan akademisi dan mantan diplomat asal Singapura, Kishore Mahbubani, atas persoalan ini?

Kemarahan Kepada Mesin Kapitalisme

Pada Januari 2019 lalu, dalam salah satu tulisannya, Mahbubani menyoroti perbedaan kondisi yang dihadapi oleh AS di bawah Presiden Donald Trump dengan Prancis di bawah Presiden Emmanuel Macron. Kala itu, Macron tengah mengalami protes besar dari masyarakat akibat beberapa kebijakan reformasi makro ekonomi yang dikeluarkannya, misalnya terkait peningkatan pajak bahan bakar diesel.

Baca juga :  Jokowi Wrapped 2024

Tujuan Macron jelas untuk mengurangi defisit anggaran negara dan mengurangi emisi karbon yang dihasilkan oleh negara tersebut. Harapannya, posisi fiskal negara akan menguat, sehingga meningkatkan posisi tawar ekonomi Prancis untuk mendapatkan investasi yang ujungnya adalah untuk kebaikan masyarakat dari kelompok 50 persen berpenghasilan terendah.

Sayangnya, Macron – yang adalah seorang dari kelompok kelas menengah – justru kehilangan kepercayaan dari kelompok bottom 50 percent ini akibat kebijakan-kebijakannya tersebut.

Pada saat yang sama di AS ada Donald Trump yang berhasil memenangkan tampuk kepemimpinan di negara tersebut pada Pilpres 2016 justru karena mampu meraih dukungan dari kelompok bottom 50 percent ini. Fenomena ini terjadi karena Trump justru menggunakan strategi menyerang kelompok-kelompok liberal dan konservatif mapan serta mampu mengkapitalisasi kemarahan masyarakat bawah ini kepada kelompok elite.

Jargon-jargon nasionalisme ekonomi memang mampu menjangkau mereka-mereka yang terdampak paling besar dari transformasi yang terjadi dalam dunia industri di AS. Sebagai catatan tambahan, AS adalah satu-satunya negara dominan yang pendapatan masyarakat bottom 50 percent-nya bukan hanya stagnan, tetapi juga mengalami penurunan dalam setidaknya 40 tahun terakhir.

Sementara konteks transformasi dalam bidang industri ini pernah disinggung oleh kandidat calon presiden AS yang ikut dalam konvensi Partai Demokrat, Andrew Yang, ketika ia melihat kondisi ekonomi yang terjadi di swing state alias negara-negara bagian yang memenangkan Trump di Pilpres 2016. Ia menemukan bahwa ada gelombang kehilangan pekerjaan dan ketidakpuasan ekonomi yang besar terjadi di negara-negara bagian ini.

Ini terjadi akibat transisi dari banyak pabrik yang mulai mengurangi jumlah pekerja manusia dan menggantikannya dengan mesin-mesin, robot, artificial intelligence (AI), dan lain sebagainya. Terminologi yang digunakan adalah automation atau otomisasi.

Ini adalah kondisi yang lumrah terjadi dalam sistem ekonomi yang kapitalistik, mengingat beban biaya produksi untuk pekerja manusia jauh lebih besar dibandingkan mesin. Selain upah, perusahaan punya tanggung jawab terhadap berbagai benefit dan tunjangan lain yang harus dibayarkan kepada para pekerja tersebut. Selain itu, mesin juga mampu meningkatkan kapasitas produksi menjadi jauh lebih maksimal.

Otomisasi ini hanya salah satu fenomena yang berdampak pada nasib banyak pekerja kerah biru di AS. Inilah yang kemudian membuat mereka “menyimpan kemarahan” pada kemapanan elite. Konteks kemarahan inilah yang berhasil dikapitalisasi oleh Donald Trump dengan jargon nasionalisme ekonominya. Ia juga berhasil menggunakan isu imigran sebagai kambing hitam dari ketimpangan ekonomi yang terjadi di masyarakat.

Konteks penggunaan kemarahan pada kapitalisme untuk kepentingan politik ini pernah diulas oleh The Economist dalam tajuk Rage Against The Machine alias Kemarahan Kepada Mesin – judul yang sama dengan nama sebuah band rock asal Los Angeles, California. Ini adalah kemarahan akibat ketimpangan ekonomi yang memang menjadi “efek samping” dari kapitalisme itu sendiri. Yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin semakin miskin.

Baca juga :  Flashback Bittersweet Memories Jokowi-PDIP

Persoalan ketimpangan ekonomi ini menjadi hal sangat memprihatinkan di AS. Penelitian yang dilakukan oleh Danny Quah dari Lee Kuan Yew School of Public Policy, Singapura, menyebutkan bahwa rata-rata pendapatan 1 persen populasi teratas di AS mencapai 138 kali lipat pendapatan rata-rata 50 persen kelas terbawah. Inilah yang kemudian membuat prinsip-prinsip keadilan menjadi mudahnya digunakan dalam kampanye politik.

Trump memang kemudian kalah – terlepas dari tuduhan kecurangan Pemilu yang digunakan oleh pendukungnya – karena selama pemerintahannya lebih banyak kontroversi yang ia timbulkan ketimbang solusi dari persoalan-persoalan yang sebelumnya ia gaungkan. Namun, bukan berarti semua persoalan ekonomi dan politik di AS berakhir dengan kekalahan Trump. Pasalnya, masalah sesungguhnya yang menimpa masyarakat AS belum tersentuh, yakni konteks ketimpangan ekonomi tersebut.

Lalu, bagaimana persoalan ini direfleksikan ke Indonesia?

Jokowi Tak Seperti Dulu?

Semengat pemerataan kesejahteraan mungkin bisa dibilang menjadi salah satu alasan Presiden Jokowi memenangkan Pilpres di 2014 lalu. Ia yang berlatarbelakang bukan dari kelompok elite, dianggap mampu menjadi muara rage against the machine dari kelompok masyarakat berpendapatan terendah. Sebagai catatan, tingkat ketimpangan ekonomi Indonesia juga cukup buruk, di mana sekitar 50 persen total kekayaan nasional dikuasai oleh 1 persen populasi saja.

Namun, seiring berjalannya waktu, Jokowi yang dulu mewakili kelompok kelas terbawah, kini mulai lebih pragmatis dalam menghitung relasi politiknya dengan kelompok elite politik dan bisnis. Ini yang menyebabkan pada titik tertentu, kebijakan Jokowi dianggap tidak menjangkau masyarakat terbawah.

Ada argumentasi misalnya, yang menyebutkan bahwa pembangunan infrastruktur dan jalan tol yang awalnya ditujukan untuk pemerataan ekonomi, belakangan disebut hanya untuk menguntungkan kelompok-kelompok menengah ke atas.

Jokowi mungkin tak seperti Trump dan berhasil kembali terpilih untuk periode kedua pada 2019 lalu. Namun, tantangan terbesarnya adalah bagaimana program-program selanjutnya bisa benar-benar menyentuh masyarakat lapisan terbawah.

Indonesia mungkin ada pada gelombang masif otomisasi, tetapi sedang bergerak menuju ke titik tersebut. Tanpa adanya pemikiran dan visi yang tepat, niscaya negara ini bisa saja terseok-seok di kemudian hari. Jika itu yang terjadi, bukan tidak mungkin rage against the machine atau kemarahan pada kapitalisme akan menampakkan wajah yang lebih sadis di kemudian hari – katakanlah dalam bentuk aksi protes yang berujung pada anarkisme dan yang sejenisnya. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

#Trending Article

More Stories

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.