HomeCelotehJokowi dan Perang Uang AS-Tiongkok

Jokowi dan Perang Uang AS-Tiongkok

Ketika mata uang renminbi (RMB) atau yuan milik Republik Rakyat Tiongkok (RRT) mulai bertumbuh pengaruhnya, mata uang dolar Amerika Serikat (AS) justru disebut-sebut terus melemah. Lantas, pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) di Indonesia lebih baik pilih yang mana?


PinterPolitik.com

“Yang patah tumbuh, yang hilang berganti” – Banda Neira, grup musik asal Indonesia

Lirik dari grup musik Banda Neira di awal tulisan ini mungkin senantiasa menjadi pengingat bagi banyak orang. Setidaknya, kutipan lagu ini mengingatkan kita akan jalannya kehidupan di dunia ini.

Setiap saat, satu hal akan selalu patah dan hilang. Namun, di sisi lain, hal baru akan tumbuh dan menggantikan hal yang hilang tersebut.

Gambaran seperti ini mungkin tercerminkan dalam banyak film dan seri. Salah satunya adalah Avatar: The Last Airbender (2005-2008).

Dalam seri kartun besutan Nickelodeon tersebut, dikisahkan seorang pengendali udara terakhir yang ternyata ditakdirkan untuk menjadi avatar – figur penjaga perdamaian antarbangsa. Namun, sosok kecil yang bernama Aang ini ternyata telah hilang selama ratusan tahun.

Di saat itu pula, perang antarbangsa yang dimulai oleh Negara Api tengah membara. Perang ini terjadi setelah avatar sebelumnya yang bernama Roku hilang dari dunia.

Namun, layaknya lirik Banda Neira di awal tulisan, apa pun yang hilang akan berganti dengan sosok atau hal yang baru. Aang inilah yang akhirnya menjadi sosok harapan baru bagi bangsa-bangsa yang dilanda peperangan tanpa henti.

Apa yang tercerminkan dalam lirik Banda Neira ini sebenarnya juga terjadi di dunia politik, termasuk panggung politik internasional. Pasalnya, ketika kekuatan dan pengaruh Amerika Serikat (AS) di dunia terus melemah, muncul kekuatan baru yang dianggap bisa menjadi penantang, yakni Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Bagaimana tidak? Tiongkok yang kini dipimpin oleh Presiden Xi Jinping mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat. Kekuatan militer negara Tirai Bambu ini juga terus berkembang.

Tidak hanya ekonomi dan militer, mata uang asal Tiongkok – yakni renminbi atau yuan – juga disebut-sebut mulai menguat pengaruhnya ketika dolar milik AS yang dipimpin oleh Presiden Donald Trump terus melemah. Bahkan, banyak pihak menilai yuan berpotensi menjadi pengganti dolar sebagai pengganti mata uang utama di dunia.

Tulisan analisis milik Urban C. Lehner di Asia Times, misalnya, mencoba meraba kemungkinan akan menurunnya kekuatan AS akibat melemahnya mata uang dolar. Bahkan, mantan koresponden Wall Street Journal tersebut sempat mempertanyakan kemungkinan akan menguatnya negara-negara lain.

Lantas, apakah mungkin ini adalah pertanda atas berakhirnya dominasi mata uang dolar di dunia? Kemudian, bagaimana pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) harus merespons persaingan mata uang antara dolar AS dan yuan Tiongkok?

Siasat Tiongkok di Yuan

Bukan tidak mungkin, dinamika nilai mata uang yang terjadi antara dolar AS dan yuan Tiongkok turut dipengaruhi persaingan di antara kedua negara besar tersebut. Pasalnya, banyak pihak menilai perang mata uang juga turut terjadi antara Trump dan Xi.

Perang mata uang ini bisa jadi dimulai dengan manuver Tiongkok yang ingin melakukan internasionalisasi terhadap yuan. Dalam sebuah tulisan yang berjudul Renminbi Internationalization milik Edwin L. -C. Lai dari Hong Kong University of Science and Technology, internasionalisasi ini merupakan strategi jangka panjang yang dijalankan oleh Tiongkok.

Baca juga :  Prabowo Bangun Nuklir, Dibantu Siapa?

Tujuan dari strategi internasionalisasi ini adalah agar lingkungan moneter internasional dapat sejalan dengan perkembangan dan pembangunan ekonomi Tiongkok. Dengan begitu, mengacu pada tulisan Lai, Tiongkok dapat menjadi lebih kebal terhadap krisis neraca pembayaran yang membuat banyak negara berkembang kesulitan.

Salah satu negara sasaran yang dinilai telah mengalami internasionalisasi yuan adalah Indonesia. Muhammad Zulfikar Rahmat dari Universitas Islam Indonesia dalam tulisannya di The Diplomat menjelaskan bahwa masuknya yuan ini terjadi dengan tumbuhnya investasi dan aktivitas perusahaan-perusahaan asal Tiongkok.

Upaya internasionalisasi ini juga dapat dilihat dari bagaimana Tiongkok memberikan likuiditas yuan pada negara-negara lain – dengan menyepakati berbagai perjanjian seperti kesepakatan swap, surat berharga, dan pinjaman. Dalam salah satu artikel The Economist, dijelaskan bahwa upaya-upaya seperti ini mempermudah bank sentral dan perusahaan meminjam uang secara murah.

Di sisi lain, mata uang – seperti apa yang disebut oleh Lehner – juga dapat menjadi tanda akan kekuatan yang dimiliki negara tersebut dalam menjalani hubungan antarnegara. Bukan tidak mungkin, Tiongkok juga memiliki tujuan politik di balik internasionalisasi ini.

Pasalnya, sistem moneter dunia hingga kini masih didominasi oleh dolar AS. Bila mengacu pada konsep neorealisme ofensif ala John Joseph Mearsheimer dari University of Chicago, setiap negara pasti berusaha untuk meningkatkan kekuatan di tengah situasi anarki di politik antarnegara.

Apa yang diyakini oleh Mearsheimer ini sejalan dengan apa yang dijelaskan oleh Lai. Upaya internasionalisasi yuan ini bisa saja menjadi cara Tiongkok untuk mencari “rasa aman” yang dibutuhkan dalam dunia moneter guna menjaga pembangunan dan pertumbuhan ekonominya.

Bila benar begitu, lantas, apa artinya dari menguatnya yuan ini bagi negara-negara lain? Bagaimana tanggapan AS dalam menghadapi kebangkitan yuan sebagai salah satu mata uang dunia?

Dolar vs Yuan

Dalam menghadapi tantangan yuan, bukan tidak mungkin AS memutuskan untuk bertindak. Pasalnya, perang mata uang antara negara Paman Sam dan Tiongkok ini disebut-sebut tengah terjadi.

Mengacu pada pemikiran Mearsheimer, negara hegemon pasti akan berusaha menghalangi upaya negara lain yang tengah menawarkan diri untuk menjadi hegemon juga. Apalagi, menurut profesor Hubungan Internasional tersebut, negara Paman Sam tidak akan tinggal diam saja melihat kebangkitan Tiongkok.

Presiden Trump, misalnya, menuding Tiongkok sebagai negara yang memanipulasi mata uangnya. Tudingan ini didasarkan pada anggapan bahwa negara yang dipimpin Xi tersebut telah melakukan devaluasi pada nilai yuan.

Meski International Monetary Fund (IMF) akhirnya mematahkan tudingan AS, pemerintahan Trump tampaknya tidak menyerah. Negara adidaya tersebut akhirnya dinilai melakukan manuver di organisasi internasional itu.

Di tengah pergantian kepemimpinan direktur pelaksana IMF dari Christine Lagarde ke Kristalina Georgieva, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin mulai melakukan semacam lobi politik di lembaga tersebut. Salah satunya dilakukan dengan menemui Pelaksana Tugas (Plt.) Direktur Pelaksana IMF David Lipton.

Baca juga :  Trump Ancam BRICS, Prabowo Balik Kanan?

Apa yang dilakukan AS ini sebenarnya bukan tidak mungkin bertujuan untuk menjaga dominasi dan hegemoni dolar, serta mencegah yuan Tiongkok sebagai penantang. Pasalnya, hegemoni mata uang asal AS ini telah berdiri sejak dekade-dekade lalu.

Carla Norloff dari University of Toronto, Kanada, menjelaskan perihal hegemoni dolar ini dalam tulisannya yang berjudul Dollar Hegemony. Setidaknya, tulisan itu menyebutkan bahwa kapabilitas ekonomi melalui mata uang seperti ini dapat tersalurkan menjadi kekuatan politik.

Bagi AS, misalnya, dominasi dolar menghasilkan apa yang disebut oleh Norloff sebagai kekuatan struktural (structural power). Kekuatan ini memberikan aktor tersebut pengaruh dalam menciptakan aturan dalam tatanan yang ada.

Bukan tidak mungkin, manuver Mnuchin di IMF ini merupakan cara AS untuk menerapkan kekuatan ini. Pasalnya, setelah Georgieva duduk di kursi kepemimpinan, IMF mulai mempertimbangkan program-program yang membuat likuiditas dolar meningkat di banyak negara.

Upaya balancing terhadap yuan ini juga tidak hanya dilakukan IMF. Federal Reserve AS, misalnya, bisa saja tengah meningkatkan likuiditas dolar di negara-negara lain, termasuk Indonesia.

Pasalnya, di tengah pandemi Covid-19, Federal Reserve AS menyepakati perjanjian repurchase (repo agreement) dengan Bank Indonesia (BI) senilai US$ 60 miliar (Rp 872 triliun). Sementara, swap agreement yang dimiliki BI dengan Tiongkok hanya senilai US$ 30 miliar (Rp 436 triliun).

Bila benar AS memiliki kekuatan struktural untuk mengimbangi yuan Tiongkok, lantas, bagaimana pemerintahan Jokowi harus menanggapi perang mata uang ini?

Bukan tidak mungkin, pemerintahan Jokowi harus berhati-hati menanggapi perang mata uang ini. Pasalnya, internasionalisasi yuan Tiongkok sendiri di Indonesia telah terjadi – beserta dampaknya.

Isu devaluasi yuan beberapa waktu lalu, misalnya, disebut-sebut dapat membuat Indonesia semakin kebanjiran produk impor – sesuatu yang selalu menjadi keprihatinan Jokowi. Rahmat dalam tulisannya juga mengingatkan bahwa tumbuhnya pengaruh yuan juga tidak boleh membuat Indonesia mudah didikte oleh negara yang dipimpin Xi tersebut.

Di sisi lain, kekuatan dominan dolar AS bisa juga perlu diperhatikan oleh Indonesia. Pasalnya, hingga kini, mata uang ini masih paling dominan.

Dalam special drawing rights (SDR) IMF, misalnya, dolar masih menjadi mata uang yang paling banyak proporsinya (41,7 persen) – diikuti oleh euro (30,93 persen). Yuan sendiri hanya masih berada di kisaran 10 persen.

Dalam keuangan perdagangan, dolar AS masih mendominasi yang penggunaannya mengambil porsi sebesar 84,6 persen pada tahun 2018 dan disebut meningkat pada tahun ini. Sementara, yuan Tiongkok hanya mengambil porsi sebesar 1,5 persen.

Belum lagi, menurut Rahmat dalam tulisannya, banyak pengusaha dan investor di Indonesia masih ragu menggunakan yuan Tiongkok. Dalam hal ini, dolar AS juga masih mendominasi di Indonesia.

Namun, tentu saja, kebangkitan yuan Tiongkok bukan sesuatu hal yang patut diremehkan. Dengan mengilhami kutipan lirik Banda Neira di awal tulisan, semua bisa saja hilang dan berganti. Mari kita amati saja bagaimana dinamika perang mata uang ini selanjutnya. (A43)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

#Trending Article

More Stories

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?