Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) menuding Uni Eropa (UE) bertindak layaknya Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) atau penjajah baru. Apakah Jokowi butuh sosok “Soekarno” baru untuk lawan penjajahan baru?
“Surely he was anti-colonial and anti-Western” – Eero Palmujoki, Regionalism and Globalism in Southeast Asia (2001)
Dalam film-film bertemakan perjuangan kemerdekaan Indonesia, istilah “kompeni” merupakan sebutan yang nggak asing. Tidak jarang, tokoh-tokoh yang ada dalam film-film itu – seperti Merah Putih (2009) – menyebut tentara-tentara Belanda sebagai kompeni.
Tapi, tahu nggak sih dari mana asal-usulnya sebutan itu? Nah, nama “kompeni” sendiri sebenarnya datang dari nama perusahaan dagang Belanda yang datang dan mendirikan Batavia pada abad ke-17, yakni Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).
Kata “kompeni” datang dari kata terakhir dalam nama VOC, yakni kata “compagnie” yang bisa berarti perusahaan atau sekelompok tentara. Kebiasaan orang-orang Indonesia dalam menyebut VOC dengan nama itu akhirnya terbawa hingga masa perjuangan kemerdekaan.
Nah, kebencian orang-orang Indonesia pada era kolonial ini tampaknya terbawa hingga kini. Gimana nggak? Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) di masa kini masih menggunakan label-label itu – ya meskipun sasarannya sudah berbeda.
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia, misalnya, beberapa waktu lalu menganggap Uni Eropa (UE) sebagai penjajah baru karena telah menggugat kebijakan Pak Jokowi untuk melarang ekspor bijih nikel.
Nggak hanya Pak Bahlil, Pak Jokowi pun pada akhir tahun lalu mengatakan hal yang senada. “Hati-hati. Dulu zaman VOC, zaman kompeni, itu ada yang namanya kerja paksa. Zaman modern ini muncul lagi, ekspor paksa,” ujar Jokowi di hadapan para CEO di Istana Negara, Jakarta, pada awal Desember 2022.
Menjadi masuk akal apabila pemerintahan Jokowi merasa demikian. Mungkin, Pak Jokowi dan jajarannya me-refer situasi ini dengan menggunakan World-systems Theory (Teori Sistem Dunia) dari Immanuel Wallerstein dalam tulisannya “World-systems Analysis” di buku World System History.
Pada intinya, teori ini nge-lihat kalau dunia terbagi atas tiga macam negara, yakni negara core, negara semi-periphery, dan negara periphery. Negara core adalah negara yang memiliki industri dan ekonomi maju tetapi mengeruk sumber daya negara-negara semi-periphery dan periphery.
Sementara, negara semi-periphery adalah negara dengan industri yang berkembang tetapi juga mengambil sebagian sumber daya negarai periphery. Terakhir, negara periphery adalah negara yang memiliki ekonomi tertinggal dan sumber dayanya dikeruk untuk kepentingan negara-negara yang lebih maju.
Cara kerja dunia yang seperti ini akhirnya melahirkan ketergantungan. Dalam Teori Ketergantungan (Dependency Theory), negara-negara semi-periphery dan periphery akhirnya bergantung pada produk-produk jadi yang berasal dari negara core.
Nggak heran sih kalau akhirnya Pak Jokowi di acara yang sama mencontohkan Korea Selatan (Korsel) dan Republik Tiongkok (Taiwan) sebagai contoh negara-negara non-Eropa yang akhirnya berhasil membuat dunia bergantung kepada mereka. “Kita harus membuat mereka bergantung kepada kita. Kita punya nikel,” ujar Pak Jokowi.
Hmm, kalau gini caranya, mungkin Pak Jokowi butuh sosok yang benar-benar berani untuk melawan kekuatan Barat. Apakah mungkin Indonesia kini butuh sosok “Soekarno” yang baru – mengingat beliau adalah salah satu pemimpin yang berjargon banyak untuk melawan imperialisme ala Barat?
Kalau di anime Naruto (2002-2007) dan Naruto: Shippuden (2007-2017), ada jurus namanya edo tensei tuh, Pak Jokowi. Ya, bila perlu, Pak Jokowi bisa tuh nge-edo tensei Bung Karno untuk nge-lawan gugatan UE tuh, Pak.
Siapa tahu, kan, nanti Bung Karno benar-benar bisa nge-lawan kekuatan Barat yang ingin hanya mengambil sumber daya Indonesia? Daripada nantinya Bung Karno hanya muncul di baliho atau banner kampanye salah satu partai politik (parpol). Bukan begitu, guys? Hehe. (A43)