Site icon PinterPolitik.com

Jokowi Balas Amien Rais?

jokowi balas amien rais

Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) (Foto: Instagram/@jokowi)

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mempersoalkan tudingan-tudingan kepada dirinya dan Istana terkait ketidaklolosan sebuah partai politik (parpol) dalam kontestasi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Mungkin, Pak Jokowi sudah capek disalahin terus.


PinterPolitik.com

“Lah, urusannya apa dengan saya?” – Jokowi, Presiden ke-7 RI

Kalian yang gemar mendengarkan musik-musik Indonesia pasti tidak asing dong dengan nama penyanyi Raisa. Ya, Raisa yang bernama lengkap Raisa Andriana ini merupakan salah satu nama besar di kancah permusikan Indonesia – sampai-sampai pernah diundang bernyanyi di sebuah acara di Istana Merdeka, Jakarta.

Nah, ada salah satu lagu yang menarik dari Raisa. Lagu ini merupakan salah satu single pertama Raisa saat memulai karier solonya setelah berhenti dari band bernama Ardante – sekarang Vierratale. Judulnya adalah “Serba Salah” (2011). 

Di lagu tersebut, ada satu potongan lirik yang memang menggambarkan inti dari lagu tersebut, yakni, “Lelah menjalani. Semua serba salah.” Lirik ini bisa dibilang menunjukkan ketidakberdayaan seseorang dengan berbagai limpahan kesalahan yang ditumpahkan pada dirinya.

Mungkin nih, perasaan inilah yang tengah dirasakan oleh Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) akhir-akhir ini. Gimana nggak? Pak Jokowi kemarin sampai mengeluh dengan adanya kabar tidak lolosnya satu partai politik (parpol) yang kemudian berujung pada tudingan terhadap penguasa.

“Tuduh lagi presiden ikut-ikutan, Istana ikut-ikutan, kekuatan besar ikut-ikutan. Lah, urusannya apa dengan saya?” ungkap Jokowi dengan kesal. Hmm, iya juga sih. Bakal kesal juga sih kalau asal dituding begitu.

Tapi, kita tahu lah ya siapa yang disindir. Soalnya tuh, kemarin, Ketua Majelis Syuro Partai Ummat Amien Rais bilang kalau ada alasan kenapa Partai Ummat tidak lolos verifikasi di Komisi Pemilihan Umum (KPU), yakni adanya dugaan atas tekanan dari kekuasaan.

Hmm, bukan nggak mungkin, ini semua sebenarnya berangkat dari tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah dan institusi-institusi terkait. Ketika tingkat kepercayaan rendah, tentu saja, rasa curiga pun terus tumbuh.

Mudahnya, begini, ketika ada banyak hal yang kita sembunyikan dari pasangan kita, tentu rasa curiga lama-kelamaan pun tumbuh. Sebaliknya, rasa curiga dari pasangan kita akan menurun bila kita selalu berperilaku dan bertutur jujur kepadanya.

Inilah yang juga dijelaskan oleh Piotr Sztompka dalam tulisannya yang berjudul Trust, Distrust and the Paradox of Democracy. Mengacu pada tulisan Sztompka tersebut, ada unsur transparansi yang juga mempengaruhi trust (kepercayaan) dan distrust (ketidakpercayaan).

Ketika alasan, jalannya operasi, kompetensi, dan jalannya fungsi terlihat dengan sangat baik, masyarakat menjadi familiar dan trust pun tumbuh. Sebaliknya, ketika semua berjalan dalam kerahasiaan, berjalan di balik layar, kabur, dan sebagainya, distrust yang tergeneralisasi pun menjadi respons yang wajar.

Hmm, jadi, wajar dong kalau kecurigaan adalah respons yang muncul. Apalagi, bukan menjadi rahasia lagi bahwa dinamika politik di Indonesia di banyak institusi justru terjadi di balik layar.

Memang, belum tentu juga benar kalau Istana atau presiden yang ada di balik semua kecurigaan masyarakat. Namun, perilaku serba sembunyi inilah yang menurut Sztompka membangun culture of distrust di masyarakat.

Nah, seperti orang yang menjalin hubungan asmara, ada baik juga kita membangun trust tersebut dalam kehidupan bermasyarakat. Siapa tahu – ketika culture of trust sudah terbangun – masyarakat pun pasti akan percaya dengan mereka yang di pemerintahan, baik yang ada di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif? 

Atau, mungkin nih, Pak Jokowi perlu juga nih bikin Pak Amien Rais bisa percaya lagi. Bukan begitu? Hehe. (A43)


Exit mobile version