“Saya meyakini jika langkah reshuffle ditempuh oleh Presiden Jokowi. Beliau akan mengedepankan terbentuknya zaken kabinet” – Sa’id Abdullah, Ketua DPP PDIP
Siapa sih yang tidak mengenal Konoha? Sebuah desa shinobi yang dalam ceritanya bermakna desa daun tersembunyi ini mula-mula hanyalah sebuah ide utopis yang muncul dari kedua pemimpin klan.
Namun, berkat inisiatif Hashirama Senju dan Madara Uchiha, terbentuklah sebuah masyarakat madani dalam sebuah kesatuan desa – yang nantinya akan melahirkan tokoh pemimpin seperti Naruto Uzumaki.
Ada peristiwa penting yang perlu dicatat dari konflik antara Hashirama dengan Madara. Meski keduanya mempunyai pandangan politik yang berbeda, dua sahabat itu punya cita-cita yang sama, yaitu membuat sistem yang efektif bagi Konoha.
Hal yang sama juga terlihat di panggung politik Indonesia jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang.
Dua tokoh yang saat ini dianggap sebagai tesis dan antitesis dalam peta politik Indonesia saat ini – Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan – rupanya mempunyai wacana yang sama terkait kabinet zaken (zakenkabinet).
Hal ini terlihat dari komentar Ketua DPP PDIP Sa’id Abdullah yang percaya kalau Jokowi akan membentuk kabinet zaken jika kembali reshuffle kabinet di sisa kurang dua tahun masa pemerintahannya.
Di sisi lain, sebelumnya pada acara deklarasi calon presiden (capres) Partai NasDem, Ketua Umum (Ketum) Partai Nasdem Surya Paloh mengungkapkan bahwa Anies nantinya mampu menciptakan kabinet yang kuat ketika terpilih menjadi presiden. Paloh meminta nantinya kabinet Anies merupakan kabinet zaken.
Sedikit memberikan konteks, istilah “kabinet zaken” ini merujuk pada pejabat pemerintah yang terdiri dari orang-orang ahli di bidangnya masing-masing – bukan sekadar titipan partai atau kelompok tertentu.
Febta Pratama Aman dalam tulisannya Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia Masa Kabinet Djuanda 1957-1959 mengatakan kalau kabinet zaken pernah muncul pada periode medio tahun 1957 hingga 1959.
Saat itu, Indonesia mengalami beberapa ketidakstabilan sehingga kabinet profesional sangat diharapkan terbentuk oleh Presiden Soekarno.
Nah, harapan adanya zakenkabinet mulai terlihat ketika Djuanda Kartawijaya dilantik menjadi perdana menteri pada 9 April 1957. Langkah yang diambil oleh PM Djuanda adalah menentukan program kerja.
Kabinet Djuanda yang disebut dengan Kabinet Karya mempunyai program kerja sederhana saja tapi efektif dalam menjaga kestabilan negara. Apalagi, kabinet ini diisi oleh para profesional di bidangnya.
Nama-nama seperti, Soenarjo yang ahli dalam bidang ekonomi dijadikan Menteri Perdagangan, Johannes Leimena yang ahli dalam bidang gerakan sosial dijadikan Menteri Sosial, dan yang terakhir Prijono yang ahli dalam pendidikan ditunjuk menjadi Menteri Pendidikan.
Namun, persoalan politik yang begitu tajam saat itu, melahirkan mosi tidak percaya partai membuat kabinet zaken ini tidaklah berumur panjang.
By the way, ungkapan Surya Paloh dan Sa’id Abdullah yang berharap masing-masing “jagoannya” – yaitu Jokowi dan Anies – untuk membentuk kabinet zaken kok kayak ingin mengulang mimpi yang pernah pupus di masa silam ya?
Meski zaman telah berganti, tapi kemungkinan zakenkabinet dapat diterapkan kembali kok rupa-rupanya sulit ya? Apalagi, partai hari ini begitu sensitif jika sudah bicara “jatah” di kabinet.
Cita-cita untuk zakenkabinet itu menjadi utopis karena baik pasangan petahana dan oposisi memiliki banyak parpol pengusung yang pasti meminta posisi sebagai menteri setelah menang kontestasi
Hmm, kalau memang zakenkabinet ini hanya mimpi yang utopis, kenapa selalu jadi narasi politik ya? Apa jangan-jangan zakenkabinet hanya jadi alat untuk tingkatkan popularitas, biar kelihatan keren gitu? Uppsss. Hehehe. (I76)