Jaksa Agung ST Burhanuddin akan menerbitkan surat edaran (SE) untuk melarang terdakwa di persidangan tiba-tiba mendadak religius dengan menggunakan atribut keagamaan. Apakah ini sebuah terobosan?
Dalam sebuah persidangan, berbagai argumentasi dan gestur dilakukan terdakwa untuk terbebas atau setidaknya meringankan tuntutan hukuman. Yang menarik, salah satu cara yang paling umum dilakukan adalah meminta belas kasihan dari hakim.
Caranya bermacam-macam, ada yang menceritakan dirinya yang sebagai tulang punggung keluarga, anaknya yang masih kecil dan butuh dinafkahi, hingga usianya yang sudah tidak lagi muda. Dalam ilmu logika, teknik persuasi mengharap belas kasihan tersebut memiliki istilahnya tersendiri, yakni argumentum ad misericordiam.
Ini adalah salah satu kesesatan bernalar (fallacy) yang bertujuan untuk mendapatkan simpati atau belas kasihan dari lawan bicara agar kesimpulannya diafirmasinya.
Sebagai contoh, agar hakim mengafirmasi kesimpulan bahwa Anto tidak layak dihukum 5 tahun penjara, Anto menjabarkan keadaan keluarganya yang tidak mungkin bisa hidup jika dirinya dipenjara.
Argumentasi itu disebut sesat, karena Anto tidak menjabarkan argumentasi hukum, seperti barang bukti yang tidak cukup atau pasal yang tidak sesuai untuk membuktikan dirinya tidak layak dihukum 5 tahun penjara. Yang dilakukan Anto justru menciptakan kesan dan rasa iba terhadap dirinya dengan dalih sebagai tulang punggung keluarga.
Di Indonesia, selain narasi mencari iba seperti itu, ada lagi satu gestur umum yang dilakukan terdakwa di persidangan, yakni mengenakan pakaian religius. Laki-laki biasanya menggunakan peci dan perempuan menggunakan jilbab hingga cadar.
Tentu kita bersyukur jika kasus tersebut membuat terdakwa menjadi insaf atau sadar atas kesalahan. Namun, dalam banyak kasus, penggunaan atribut agama di pengadilan kerap kali hanya sebagai gimmick.
Jika direfleksikan, penggunaan atribut keagamaan tersebut termasuk dalam argumentum ad misericordiam. Jika itu hanya gimmick, maka terdapat niatan untuk memberi kesan dirinya telah berubah dan layak diberi keringanan hukuman.
Nah, sadar atas kerapnya atribut keagamaan digunakan sebagai gimmcik, tampaknya menjadi tolakan Jaksa Agung ST Burhanuddin mewacanakan penerbitan surat edaran (SE) yang mengatur pakaian terdakwa di pengadilan.
SE tersebut akan melarang terdakwa menggunakan atribut keagamaan jika sebelumnya tidak terbiasa menggunakannya. Disebutkan, SE ini bertujuan untuk mencegah persepsi bahwa atribut keagamaan digunakan oleh pelaku kejahatan.
Well, seperti yang dilihat, wacana SE itu membelah opini publik. Di satu sisi mendukung, karena banyak yang merasa risih dengan pelaku kejahatan yang tiba-tiba tampil religius di persidangan.
Di sisi lain, terdapat yang mengkritik karena Jaksa Agung justru mengurus hal yang bersifat pribadi dan tidak substansial. Alih-alih mengurus pakaian terdakwa, Jaksa Agung diharapkan menjaga keputusan hukum agar tidak tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Lagipula, jika memang memiliki perhatian khusus pada pakaian terdakwa, Jaksa Agung bisa menerbitkan SE agar terdakwa menggunakan pakaian yang sama, misalnya menggunakan jas atau rompi oranye sepanjang pengadilan. Bukankah begitu? (R53)