“In the long run, your human capital is your main base of competition. Your leading indicator of where you’re going to be 20 years from now is how well you’re doing in your education system.” – Bill Gates
PinterPolitik.com
Jakarta, ibu kota macet Indonesia dengan tata kota rumit yang tumpah ruah masalahnya. Berbagai gubernur silih berganti mengatasi kompleksitas kota yang dipenuhi gang-gang sempit dengan cerita kelam masyarakatnya. Sepanjang sejarah, berdirinya suatu kota memang tidak akan pernah terlepas dari masalah. Ibarat kodrat yang tak dapat berubah, masalah adalah nafas yang menghidupi serta menjangkiti perkotaan.
Namun masalah dapat diselesaikan, bergantung pada kebijakan dari otoritas di tempat itu. Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta merupakan penantang kesekian dengan tugas mulia. Sayangnya, kritik dan sentilan masih kerap mewarnai kiprah sang gubernur.
Sentilan teranyar datang dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian. Dalam Munas Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APSII), Tito menyampaikan bahwa Jakarta sudah seperti kampung kalau dibandingkan dengan Shanghai, Tiongkok.
Tito pun bercerita mengenai kunjungan pertamanya ke Tiongkok pada era 90-an, di mana Negeri Tirai Bambu itu pernah dikatakan akan menjadi ancaman di masa depan. Namun Tito pun tak mengindahkan peringatan tersebut karena baginya bagaimana negara yang saat itu masih kesulitan ekonomi dengan tata kota semrawut bisa menjadi kekuatan raksasa.
Tito pun harus mengakui kesalahan asumsinya ketika kembali menginjakkan kaki di Tiongkok pada 2018, di mana sudah banyak gedung pencakar langit yang menjadi generator ekonomi besar di dunia dengan tata kota yang canggih dan menakjubkan.
Mendengar hal ini pun Anies justru berdalih bahwa Tiongkok membutuhkan empat dekade untuk mencapai taraf seperti saat ini. Selain itu, menurutnya kritik Tito itu juga ditujukan kepada semua kepala daerah, bukan dirinya saja.
Terlepas dari itu, apakah membandingkan Jakarta dengan Shanghai sudah tepat?
Kalau merujuk ke artikelnya World Economic Forum (WEF), di tahun 2017 lalu ada 8 juta lulusan perguruan tinggi di Tiongkok. Jumlah ini bahkan mengalahkan lulusan Amerika Serikat di tahun tersebut hingga dua kali lipat.
Secara spesifik, lulusan teknik atau engineering jadi jumlah yang lumayan berkontribusi pada ledakan lulusan universitas di Tiongkok itu. Nah, ledakan lulusan engineering ini berkontribusi pada berbagai inovasi di negeri tersebut, termasuk dalam pembangunan kota seperti Shanghai.
Merujuk pada hal tersebut, terlihat kalau setiap negara memiliki perbedaan SDM yang dapat berpengaruh pada pembangunan di masing-masing negara. Nah, jadinya apakah membandingkan Shanghai dengan Jakarta tepat? Apakah Shanghai dan Jakarta itu apple to apple atau apple to avocado? (M52)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.