Presiden Jokowi kembali marah karena para menteri dinilai tidak peka dengan kondisi rakyat. Kalimat di mana “sense of crisis?”, kembali dikeluarkan oleh RI-1. Apakah itu adalah kata sakti Presiden Jokowi?
Penikmat anime tentu sangat mengenal karakter Naruto. Khas dengan pakaiannya berwarna orange, Naruto sangat berkeinginan untuk menjadi Hokage di Desa Konoha. Demi menggapai mimpinya, Naruto sangat tekun berlatih dan mempelajari berbagai jutsu kuat.
Jutsu Naruto yang paling dikenal adalah kage bunshin no jutsu atau jurus seribu bayangan. Ada juga rasengan, jurus serangan berbentuk bola angin putih. Namun, dari sekian banyak jutsu Naruto, kalau kata orang, yang paling kuat adalah talk no jutsu – kemampuan motivasi Naruto.
Ketika menghadapi musuh-musuh yang sangat tangguh, seperti Pain dan Obito Uchiha dari Akatsuki, Naruto berhasil membuat mereka sadar dan kembali menjadi orang baik setelah mendengar nasihat-nasihat dan kata mutiara Naruto.
Yang menarik nih, di dunia politik talk no jutsu juga sering jadi jurus andalan lho. Tidak sedikit politisi besar memiliki diksi, kata, hingga kalimat khasnya. Presiden keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) adalah salah satunya.
Kalau teman-teman perhatikan, berbagai pidato Pak SBY kerap menggunakan kata, “Saya prihatin” atau “Saya sangat prihatin”. Banyak yang mengatakan ini ibarat kata saktinya Pak SBY. Bahkan nih, sampai beredar meme Pak SBY lengkap dengan tulisan, “Saya prihatin”.
Pada 11 Maret 2013, misalnya, ketika mengomentari pejabat dan wakil rakyat yang korupsi pengadaan barang, Pak SBY mengatakan, “Saya sangat prihatin masih ada kasus-kasus yang melibatkan anggota DPR RI, pemerintah, DPRD, pejabat, bupati, wali kota, dalam kasus urusan pengadaan barang”.
Ternyata enggak cuma Pak SBY. Presiden ketujuh RI, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga punya kata sakti kayaknya. Kalau diperhatikan, sejak pandemi Covid-19 menerjang, Presiden Jokowi selalu menggunakan kata “sense of crisis” ketika menegur para menterinya.
Pada 18 Juni 2020, misalnya, ketika Pak Jokowi membuka sidang kabinet paripurna, di penutup paragraf pertama pidatonya, Pak Jokowi langsung menggunakan kata saktinya.
“Tolong garis bawahi, dan perasaan itu tolong kita sama, ada sense of crisis yang sama,” ungkap Pak Jokowi.
Baru-baru ini, kata sakti itu keluar lagi. Dalam sidang kabinet paripurna pada 5 April, Pak Jokowi kembali menegur para menteri karena tidak peka. Ada kenaikan harga Pertamax tapi menteri belum memberikan kejelasan ke publik soal kenaikan itu.
“Sikap-sikap kita, kebijakan-kebijakan kita, pernyataan-pernyataan kita harus memiliki sense of crisis. Harus sensitif terhadap kesulitan-kesulitan rakyat,” ungkap Pak Jokowi.
Kalau sedikit berandai-andai, gimana jadinya ya kalau kata sakti Pak SBY dan Pak Jokowi tertukar? Kalau misalnya Presiden ketujuh adalah Pak SBY, mungkin kalimatnya pas marahin menteri adalah, “Saya sangat prihatin harga Pertamax naik”.
Nah, kalau Pak Jokowi yang jadi Presiden keenam, kalimatnya pas mengomentari korupsi pengadaan barang mungkin seperti ini, “Saya mendapat laporan ada kasus korupsi soal pengadaan barang. Tolong digaris bawahi, kita harus punya sense of crisis yang sama”.
Ya, sekalipun intensitas kata “sense of crisis” tidak sebanyak “saya prihatin”, mungkin dapat dikatakan ini adalah kata sakti ala Pak Jokowi, setidaknya di tengah situasi pandemi Covid-19.
Mungkin bedanya, kalau dibandingin sama Naruto, talk no jutsu adalah jurus pamungkas yang membuat musuh takluk. Sementara kata sakti Pak SBY maupun Pak Jokowi sepertinya bukan jurus pamungkas. Toh, kasus berulang yang jadi perhatian mereka tetap terjadi. Hmmm. (R53)