“Berkhianat pada revolusi ini berarti berkhianat pada diri sendiri, pada publik yang membayarnya” – Pramoedya Ananta Toer, Penulis asal Indonesia
PinterPolitik.com
Gengs, mimin ceritain dulu kisah menarik tentang klan Targaryen dalam serial Game of Thrones yang nanti nyambung dengan bahasan tulisan. Targaryen ini sangat berkuasa di antara para klan lainnya – sampai turun-temurun mampu menguasai takhta Westeros.
Hingga suatu ketika, sampailah estafet kerajaan dipegang oleh turunan Targaryen bernama Aerys ‘Si Raja Gila’.
Disebut si raja gila karena memang hobinya benar-benar gila, yakni tega membakar hidup-hidup siapa saja yang berani menentangnya.
Tentu saja ini membuat klan-klan lain marah. Toh, apalagi, ada kejadian saat salah satu keluarga kerajaan dianggap membawa kabur adik pemuka klan yang berasal dari Utara.
Tidak berselang lama, terjadilah pemberontakan dan kudeta yang dilakukan oleh tiga klan, yakni Stark, Baratheon, dan Lannister terhadap kegilaan ‘Si Raja Gila’. Aerys pun digorok, dan praksis, klan Targaryen terdepak dari kursi empuk kekuasaan.
Apakah ceritanya selesai? Belum, cuy, karena kegilaan juga bakal ditunjukkan oleh salah satu keturunan Aerys bernama Daenerys Targaryen. Karena Daenerys ini membawa misi dan ambisi klan yang merasa berhak menduduki kembali kerajaan Westeros, maka ia pun tidak segan-segan melakukan apa saja, bahkan membakar musuh-musuhnya.
Sampai suatu saat, ketika Daenerys merasa jaya, dan hampir memenangkan semuanya, dia dibunuh oleh orang yang sangat ia kasihi, yakni Jon Snow. Sedihnya lagi, ternyata Jon Snow ini merupakan keluarga dari Daenerys, cuy, yang memiliki nama asli Aegon Targaryen. Dengan berlinang air mata Jon Snow mengaku terpaksa membunuh Daenerys sebab tidak ingin kegilaan demi kegilaan muncul.
Ya, wajar saja sih Jon Snow berpikir begitu. Secara, dia pernah dirawat oleh Stark – salah satu klan yang mendukung kudeta Targaryen – yang memberikan banyak pelajaran betapa ambisi menguasai yang tidak ditopang kemanusiaan tidaklah dibenarkan, siapa pun penguasanya. Begitulah sekelumit ceritanya, gengs.
Nah, sekarang, apa korelasinya dengan Partai Berkarya? Jawabnya yakni pada dua aspek, kejayaan masa lalu dan kudeta dari dalam.
Benar kan, cuy? Secara, Partai Berkarya ini sengaja didirikan oleh Tommy Soeharto untuk kembali menghidupkan warisan bapaknya, yakni Soeharto – presiden yang sering terpampang di belakang truk sambil dituliskan kalimat,“Penak Jamanku, toh?”
Ya, wajar saja sih kalau seorang anak ingin mengulang kejayaan si bapak. Itu mirip seperti Daenerys yang menghendaki kembalinya kekuasaan Targaryen.
Sayangnya, nasib keduanya lha kok sepertinya mirip-mirip juga, cuy. Baik Daenerys maupun Tommy sama-sama disingkirkan oleh keluarga sendiri. Adalah teman sesama partai bernama Muchdi Purwoprandjono (Muchdi PR) orang yang berhasil menggeser posisi Tommy pada acara Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub) yang digelar oleh Presidium Penyelamat Partai Berkarya (P3B).
Serunya nih, kayak cerita-cerita kolosal, sempat di Munaslub ada serangan dari sekelompok orang yang mengatasnamakan pengawal Tommy. Tapi, ya, segarang apa pun kelompok yang mengaku mendukung Tommy itu, kalau palu sudah diketok, dan hadirin menyetujui, doi bisa apa selain meratapi nasib? Upps.
Mimin jadi miris melihat nasib Tommy sekarang. Sudah berusaha mengumpulkan pecahan-pecahan yang hilang di era Orde Baru, eh, malah terpinggirkan dari panggung politik. Tidak hanya posisi, tapi juga ide besarnya pun ikut terpinggirkan, cuy.
Lhawong keinginan agar Partai Berkarya tetap pada jalur oposisi saja diabaikan kok oleh Muchdi yang memilih untuk berkoalisi dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Wah, apakah ini akhir karier pemilik nama asli Hutomo Mandala Putra itu? Kita tunggu langkah politik Mas Tomy saja ya, cuy. Hehehe. (F46)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.