“I got new rules, I count ‘em. I gotta tell them to myself” – Dua Lipa, penyanyi asal Inggris
PinterPolitik.com
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) kayaknya bakal dicabut deh, gengs. Pasalnya, tanda-tanda ke sana sudah tercium.
Pertama, kelihatan sekali kalau para menteri ini sering terlihat kelabakan kalau ditanya soal kebijakan-kebijakan selama pandemi. Peraturan soal transportasi yang pernah diterbitkan oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub) misalnya sempat dibingungkan dengan peraturan PSBB yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Kedua, Presiden Joko Widodo (Jokowi) ternyata diam-diam sering sekali meminta update perkembangan dan penanganan Covid-19 di negara-negara lain. Barang kali, saat enak-enaknya mengamati strategi tempur negara-negara lain, Presiden Jokowi terkesima dengan strategi Jepang.
Sekadar informasi aja sih, gengs, di Jepang tidak ada istilah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) atau lockdown, cuy, tetapi mampu mengatasi Covid-19 dengan sangat sederhana – ya, meski gak mudah tentunya.
Kenapa sederhana? Ya karena hanya dengan mengandalkan kecanggihan tenaga medis yang terbiasa mendeteksi penyakit lewat model analog.
Dan mengapa kok tidak mudah? Ya pasti tidak mudahlah, karena harus kompak antar semua lini. Untungnya sih, di sana warganya terkenal disiplin, jadi semuanya berjalan sesuai skenario. Bandingkan saja dengan di Indonesia. Upsss, hehehe.
Ketiga, tanda yang mengarah pada pencabutan PSBB adalah munculnya Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian Corona Virus Disease 2019 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi.
Dalam Kepmenkes itu, jelas sekali kalau Indonesia ini bakal sedikit demi sedikit keluar dari lubang kemelut PSBB, gengs. Pasalnya nih, gak ada di dalam aturan itu yang menyentil soal pencatatan jumlah orang yang diduga terinfeksi.
Lha, terus bagaimana cara menanganinya? Ya semua kembali ke lokal, artinya menjadi urusan pemerintah daerah, Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) daerah, tempat kerja di daerah terkait, dan warga untuk membuat prosedur pencegahan dan sosialisasi.
Makanya, kalimat penutup dalam Kepmenkes tersebut berbunyi, “Panduan pencegahan dan pengendalian COVID-19 di tempat kerja perkantoran dan industri disusun secara umum untuk membantu dunia kerja dalam meningkatkan peran dan kewaspadaannya untuk mengantisipasi penularan COVID-19 di lingkungan kerja serta memberikan perlindungan seoptimal mungkin bagi kesehatan pekerja.”
Berarti, kelihatannya memang benar-benar dikembalikan kepada kecerdasan pemerintah lokal, satuan operasional di lapangan kerja, serta pekerja sendiri. Nah, pertanyaannya, kalau ada yang gak cerdas alias masih bandel, bagaimana tuh?
Ya, risiko ditanggung penampung lah. Hemmm, ngeri-ngeri sedap, cuy. Tapi okelah, kita maklumi saja, barangkali pemerintah sedang mendidik rakyatnya.
Tapi ya, rakyat pun boleh dong mendidik pemerintahnya juga dengan cara gelitik kebijakan: apakah ada jaminan kalau kepala per kepala yang tersebar dari Sabang sampai Merauke bakal mematuhi peraturan itu? Apa langkah pemerintah dalam mendisiplinkan?
Jangan-jangan maksud hati meniru Jepang, eh, malah menimbulkan masalah yang bikin kelabakan. Lagian, Jepang bisa kayak gitu sebab ada sejenis Pusat Pengendalian Penyakit lokal yang didukung oleh kecerdasan medis baik dari masyarakat atau ahli.
Nah, di Indonesia masalahnya minim hal yang seperti ini. Terus, gimana dong? Jadi, tolong, meski ekonomi sangat akut, pemimpin seharusnya tetap pertimbangkan kesehatan dan diseimbangkan dengan masalah perut. Monggo dijelaskan ya, Pak/Bu pimpinan. Hehehe. (F46)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.