Anggota Komisi IX DPR RI Irma Suryani Chaniago menyarankan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) memiliki dewan pengawas. Apakah ini babak lanjutan dari perseteruan dengan eks Menkes Terawan Agus Putranto. Lantas, apakah IDI merupakan pihak yang sebenarnya kalah?
Dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Bukan IDI, Siapa Musuh Terawan?, telah dibahas panjang lebar bahwa Terawan Agus Putranto terlalu besar untuk dijatuhkan hanya oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Dengan relasi politik yang luas, dapat dikatakan Terawan itu too big to fail.
Frasa itu penulis adopsi dari pertanyaan mantan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan kepada Nadiem Makarim pada September 2019 lalu. “Apakah Gojek terlalu besar untuk gagal (too big to fail)?,” tanya Gita.
Perseteruan antara Terawan dan IDI, penulis lihat begitu menarik. Pertama, secara teoretis, penulis teringat dengan buku Nassim Nicholas Taleb yang berjudul The Black Swan: The Impact of the Highly Improbable. Dalam salah satu bagian bukunya, Taleb menjelaskan soal Sextus Empiricus atau Sextus sang Empiris.
Sextus merupakan filsuf Yunani yang diperkirakan hidup pada abad ke-2 di Alexandria, Mesir. Diceritakan, Sextus belajar di sekolah kedokteran yang diberi nama “empirical”. Yang menarik dari sekolah ini, para praktisinya meragukan teori sebab-akibat (kausalitas) dan lebih mengandalkan pengalaman langsung (empiris) sebagai panduan pengobatan.
Menurut Taleb, aliran ini mempertahankan ilmu pengobatan sebagai sebuah “seni”, bukan “sains”, karena tidak ingin menjadikan praktik pengobatan sebagai semacam dogma. Pada level tertentu, praktik sains yang terlalu kaku dapat disebut sebagai dogma.
Kenapa penulis teringat pada Sextus, karena metode cuci otak Terawan tampaknya menggambarkan salah satu buku Sextus yang paling terkenal, Adversos Mathematicos. Alih-alih ilmu pengobatan disandarkan pada buku teks yang kaku, Adversos Mathematicos menekankan praktik pengobatan yang mengandalkan uji empiris langsung.
Nah, pada kasus metode cuci otak Terawan, letak persoalan sebenarnya pada metode ini belum lolos uji dari IDI, sehingga dinilai sebagai metode yang “kurang ilmiah”. Dalam pandangan Sextus, ini dapat disebut sebagai sains sebagai dogma.
Mungkin jika Sextus hadir sekarang, keberhasilan metode cuci otak Terawan dalam menyembuhkan berbagai pasien telah menjadi verifikasi yang cukup untuk mengatakan metodenya bekerja.
Kedua, secara politik, penulis melihat IDI sebenarnya adalah pihak yang kalah di perseteruan ini. Pasalnya, setelah Terawan dikeluarkan dari keanggotaan, wacana agar IDI memiliki badan pengawas kemudian mencuat. Menurut anggota Komisi IX DPR Irma Suryani Chaniago, kinerja IDI perlu diperiksa dan diawasi karena terlalu superbody.
“Kami sampaikan kepada IDI untuk segera melakukan restorasi, reformasi, dan evaluasi terhadap keberadaan IDI bagi anggota IDI sendiri,” ungkap Irma pada 9 April.
Selain itu, pemerintah dan berbagai politisi di DPR juga telah menyuarakan untuk merevisi Undang-Undang (UU) 20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran dan UU 29/2004 tentang Praktik Kedokteran. Disebutkan, jika benar-benar direvisi, maka izin praktik dokter akan sepenuhnya dipegang oleh pemerintah alias tidak memerlukan rekomendasi IDI.
Secara politik, kita dapat mengatakan ini sebagai sebuah kekalahan. IDI memang berhasil menjatuhkan Terawan, sosok yang berhasil bertahan sejak 2013 lalu. Namun, bayaran atas keberhasilan itu sangat besar, yakni berkurangnya kekuasaan, pengaruh, dan daya tawar IDI. Ini benar-benar pukulan balik yang telak. (R53)