“Kalau semua diborong Pj. Gubernur, tandanya sistem tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya” – Saiful Anam, Direktur Pusat Riset Politik, Hukum, dan Kebijakan Indonesia (PRPHKI)
Muncul polemik tidak lama setelah Heru Budi Hartono dilantik sebagai Penjabat (Pj.) Gubernur DKI Jakarta, menggantikan Anies Baswedan yang habis masa jabatannya di Oktober tahun ini.
Orang dekat Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu berencana menghidupkan kembali kebijakan Basuki Tjahaja Purnama (BTP) yang akrab disapa Ahok, Gubernur DKI Jakarta sebelum Anies. Tentunya, hal ini langsung direspons berbagai pihak.
Salah satunya dari Direktur Pusat Riset Politik, Hukum dan, Kebijakan Indonesia (PRPHKI) Saiful Anam yang mengatakan bahwa keinginan menghidupkan kembali kebijakan era Ahok merupakan kemunduran.
Sedikit memberikan konteks, Heru ingin mengaktifkan kembali pos pengaduan warga di Balai Kota Jakarta. Program aduan masyarakat ini dihapus di era Anies karena dianggap lebih efisien jika pengaduan dilakukan secara online dibandingkan secara konvensional.
Anam mencoba memaparkan konteks perubahan aturan itu karena persoalan efisiensi dan efektivitas sebagai landasan pengamatannya. Ia menilai, jika kebijakan pengaduan dijalankan kembali, maka akan merusak tata kelola birokrasi yang telah digariskan peraturan perundang-undangan tentang batasan kewenangan mulai dari RT, RW, Lurah, hingga Kepala Daerah.
Terlepas dari pengamatan Anam yang berfokus pada struktur tata kelola birokrasi. Lebih jauh dari itu, langkah Heru ini dapat juga diasumsikan sebagai bagian dari strategi contrast effect.
Tentu, hal ini berkaitan dengan adanya stigma kalau Anies adalah antitesis dari Ahok dan sebaliknya. Hal ini yang menimbulkan rentan keduanya disandingkan untuk dinilai secara kontras.
Itamar Shatz dalam tulisannya The Contrast Effect: When Comparison Enhances Differences menyebutkan bahwa contrast effect atau efek kontras adalah bias kognitif yang mendistorsi persepsi kita tentang sesuatu ketika kita membandingkannya dengan sesuatu yang lain.
Tentunya, persoalan ini tidak hanya berefek pada cara pandang individu – seperti yang terjadi pada konteks psikologi, melainkan juga akan punya dampak politik jika isu perbandingan ini diamplifikasi menjadi simbol politik tersendiri.
Lantas, apa simbol politik dibalik kebijakan Heru yang terlihat kontras dengan kebijakan Anies itu?
Tentunya, dengan kembalinya kebijakan penguasa sebelumnya – yaitu Ahok yang notabene kader PDIP, ditambah Heru juga merupakan orang dekat Jokowi yang juga PDIP – membuat seolah Jakarta saat ini kembali di bawah “kendali” Partai Banteng.
Hmm, dengan manuver politik yang diperlihatkan Heru, sesaat setelah menjabat menjadi Pj. Gubernur. Inilah seolah-olah memperlihatkan bahwa dirinyalah pewaris takhta Ahok – atau kita bisa sebut Ahok jilid II kali ya? Uppss. Hehehe. (I76)