Belakangan, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto terlihat aktif mengomentari berbagai persoalan politik dalam negeri. Kira-kira, kenapa ya Pak Hasto terus cuap-cuap – khususnya soal Koalisi Perubahan?
“Social Justice Warrior is an often mocking term for one who is seen as overly progressive” – Merriam Webster Dictionary
Kalian pasti familiar dengan istilah social justice warrior (SJW). Istilah ini merujuk kepada orang-orang yang mengekspresikan pandangan-pandangan progresif dengan keras.
Namun, seiring berjalannya waktu, SJW sering kali digunakan untuk mengolok orang-orang yang dinilai ngotot mempertahankan ideologinya.
Nah, belakangan ini, nama Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto terus mewarnai pemberitaan politik nasional. Ada saja pernyataan baru yang kita dengar dari Sekjen PDIP ini.
Dalam persoalan sistem pemilihan umum (pemilu) proporsional terbuka dan tertutup, misalnya, Hasto menyindir komentar Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) karena dianggap lupa dengan sejarah. Kata Pak Hasto sih, Pak SBY juga mengubah sistem pemilu pada masa kepemimpinannya.
Ketika berbicara mengenai Koalisi Perubahan milik Partai NasDem, Partai Demokrat, dan PKS, Hasto tegas menutup pintu koalisi karena branding calon presiden mereka, Anies Baswedan, sebagai antitesis Joko Widodo (Jokowi). Seperti yang kita ketahui, Pak Jokowi adalah kader PDIP.
Hasto juga turut mengomentari safari politik Anies di Surabaya, Jawa Timur (Jatim). Bagi Hasto, safari politik ini sepi karena warga masyarakat Surabaya tahu siapa yang selama ini telah berjasa membangun kota tersebut.
Perihal keluarnya putra dari Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa dari Demokrat, Hasto menganggap ini sebagai hal bagus. Lebih lanjut, Hasto juga mengklaim bahwa partainya memiliki kedekatan dengan Khofifah dan putranya.
Namun, komentar-komentar Pak Hasto ini tidak kena silent treatment lho. NasDem dan Demokrat juga sering kali menimpali ucapan-ucapan Sekjen PDIP ini.
Sebagai contoh, Ketua DPP NasDem Willy Aditya mengingatkan Hasto untuk tidak menebarkan kebencian atas capres mereka, Anies. Deputi Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Demokrat Kamhar Lakumani juga sempat mencap Hasto sebagai politisi feodal akibat sikap tegas PDIP yang menutup pintu koalisi dengan koalisi perubahan.
Nah, sehubungan dengan ini, ada sebuah teori menarik yang ditulis oleh John D. May mengenai partai politik. Asumsi May ini mungkin saja dapat menjelaskan perilaku Hasto Kristiyanto.
Dalam publikasinya yang berjudul Opinion Structure of Political Parties, May merumuskan teori yang sekarang dikenal dengan istilah May’s Law of Curvilinear Disparity – atau lebih singkatnya May’s Law (Hukum May).
Hukum May berbicara mengenai sifat ideologis anggota partai. Anggota partai ia bagi ke dalam tiga tingkatan, yakni top leaders, sub-leaders, dan non-leaders.
Asumsinya, sub-leaders memiliki sifat ideologis yang lebih ekstrem dibandingkan dengan top leaders (pimpinan partai) dan non-leaders (kader partai biasa).
Sikap-sikap Pak Hasto sebagai Sekjen PDIP bisa saja menempatkan dirinya di kategori sub-leader yang memang memiliki kecenderungan untuk mempertahankan kepentingan dan ideologi partainya secara lebih keras.
Berkaca dari hal ini, rasanya bukan sebuah understatement jika kita sebut Pak Hasto sebagai garda terdepan PDIP. Kalau meminjam istilah populer sih, Pak Hasto ini layaknya SJW PDIP kali ya? Benar nggak tuh? Hehe. (A89)