Ketua Umum (Ketum) Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) menantang siapa saja yang menolak gagasan Ibu Kota Negara (IKN) baru yang akan dibangun di Kalimantan, yakni Nusantara. Mungkinkah pernyataan ini memiliki konsekuensi politis terhadap Hanura?
“… and the rats are talking in the walls” – Dolores Madrigal, Encanto (2021)
Siapa sih yang nggak pengen punya kekuatan super (superpower)? Semua orang pasti punya ingin power – entah power dalam makna “kekuatan” atau power dalam makna “kekuasaan”. Anggapannya sih, dengan power, kita bisa melakukan lebih banyak hal yang kita mau.
Namun, selain sebagai blessing (anugerah), power juga bisa menjadi curse (kutukan). Pertanyaan inilah yang harus menjadi pertanyaan ketika seseorang akhirnya mendapatkan power? Untuk tujuan apa power itu akan digunakan?
Keluarga Madrigal dalam film Encanto (2021), misalnya, diberkahi kekuatan magis yang berasal dari sebuah lilin. Keluarga ini akhirnya hidup di sebuah wilayah bernama Encanto – di mana akhirnya banyak warga bergantung pada keajaiban yang dimiliki oleh keluarga ini.
Keajaiban yang dimiliki oleh sebuah lilin ini pun tersalurkan kepada keturunan-keturunan keluarga Madrigal. Setiap anggota keluarganya memiliki kekuatan super yang unik – membuat mereka semacam penjaga yang senantiasa mengatur harmoni di Encanto.
Salah satu anggota Madrigal yang memiliki kekuatan ajaib adalah Dolores Madrigal. Gadis satu ini memiliki kemampuan enhanced hearing – menjadikan dirinya mampu mendengarkan apapun dalam radius yang luas. Bahkan, bisa mendengarkan suara-suara kecil yang ada di dinding.
Selain itu, kemampuan ini juga membuat Dolores mampu mengetahui rahasia banyak orang. Ini akhirnya membuat Dolores menjadi pendengar yang super karena bisa mengetahui rahasia sampai persoalan yang dimiliki oleh orang-orang.
Nah, kemampuan Dolores ini bukan nggak mungkin membuat kita teringat akan pentingnya menjadi pendengar yang baik dalam banyak aspek kehidupan, khususnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis.
Gimana nggak? Makin ke sini, makin banyak saja masyarakat yang menilai bahwa para politisi, wakil rakyat, dan pemimpin semakin tidak mau mendengarkan apa yang menjadi aspirasi rakyat.
Ketua Umum (Ketum) Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO), misalnya, beberapa waktu lalu malah mengeluarkan pernyataan bahwa dirinya menantang siapapun yang menolak gagasan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara yang akan dibangun di Kalimantan. Sontak saja, para pengamat politik seperti Hendri Satrio (Hensat) malah mengkritik pernyataan OSO.
Pertanyaannya nih, gimana caranya mau dipilih agar masuk kembali ke parlemen kalau mendengarkan aspirasi rakyat dengan baik saja adalah hal yang sulit? Kok ya malah mengajak debat? Kan, mereka yang mengkritik pun juga bagian dari rakyat? Hmm.
Padahal nih, mengacu pada tulisan Russell Muirhead dan Nancy L. Rosenblum yang berjudul The Political Theory of Parties and Partisanship: Catching Up, partai politik (parpol) memiliki peran fasilitatif dalam membangun hubungan antara individu warga dengan perwakilan resmi dalam lembaga legislatif.
Nah, kalau mendengarkan aspirasi yang ada di masyarakat aja sulit, gimana bisa menjalankan peran fasilitatif tersebut? Lha, wong, orang yang mengkritik Nusantara aja langsung diajak debat tanpa mendengarkan dan berdiskusi terlebih dahulu?
Inget loh, kemarin kan di Pemilu 2019 Hanura gagal lolos Senayan. Jangan sampai karena pernyataan Pak OSO, nasib pada 2019 kembali terulang pada Pemilu 2024 nanti.
Hmm, mungkin nih, biar Hanura bisa lebih mau mendengar, apa perlu ya menggandeng Dolores dari Encanto buat jadi kader sekalian? Barang kali, Dolores bisa membantu Pak OSO biar lebih memahami para calon pemilihnya, kan? Hehe.
Atau nih, mungkin, saking hebatnya pendengaran yang dimiliki, Dolores bahkan bisa membantu pembicaraan-pembicaraan di balik layar tuh – misal bicara-bicara “transaksi-transaksi” tertentu yang bisa melukai hati rakyat. Makin keren nggak tuh Hanura? Hehe. (A43)