“Sebetulnya Gus Dur pernah buat edaran, surat tetapi memang suratnya secara spesifik kepada orang-orang tertentu, tidak boleh menggunakan nama dan wajah beliau. Kalau yang lainnya sih sifatnya etis aja sih, moral etis,” Alissa Wahid, Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian
Baru-baru ini, muncul polemik pemasangan gambar mantan presiden Indonesia yang juga merupakan tokoh Nahdlatul Ulama (NU), yakni KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, sebagai bagian dari baliho kampanye politik.
Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian, Alissa Wahid mengatakan bahwa keluarga menentang seluruh pihak yang asal mencatut gambar Gus Dur untuk dijadikan baliho. Hal ini tampaknya marak dilakukan berbagai pihak menjelang tahun politik yang sudah tidak lama lagi.
Menurut Alissa, jika seseorang mencintai dan mengagumi sosok Gus Dur, seharusnya tidak memasang foto Gus Dur di baliho politik karena sejatinya Gusdurian tidak berpolitik.
Namun, jika suatu saat memang pengikut Gus Dur harus berpolitik, maka Alisa menegaskan bahwa komando politik terkait Gusdurian berada di bawah kendali Yenny Wahid.
Hmm, kok bisa begitu ya? Jadi seolah-olah gambar atau foto Gus Dur sudah jadi milik pribadi keluarga Gus Dur. Bukankah Gus Dur sudah menjadi tokoh bangsa yang berhak dimiliki oleh setiap orang?
Jika kita merujuk dari legalitasnya, sejatinya tidak ada larangan dalam Undang-undang (UU) No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) untuk menggunakan gambar Gus Dur sebagai alat kampanye beberapa partai politik.
Gus Dur – sama halnya seperti Bung Karno dan tokoh nasional lainnya – menjadi inspirator ide dan gagasan dari para calon legislatif (caleg) dan partai politik (parpol) yang akan bertarung di setiap pemilu.
Gus Dur bisa saja digunakan caleg dari partai yang telah dibangunnya, yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), sebagai alat kampanye meskipun dalam perjalanan politiknya para pengurus PKB saat ini bertentangan dengan Gus Dur.
Sebenarnya point–nya berada pada gagasan bahwa tokoh politik sejatinya adalah produsen isu-isu politik. Hal ini yang kemudian sering kali membuat para tokoh politik ini dianggap berkharisma dan akhirnya menjadi komoditas politik untuk mensosialisasikan caleg tertentu.
McNair dalam bukunya An Introduction to Political Communication menyebutkan bahwa komunikasi politik sejatinya bergerak dalam lintasan citizen atau warga-negara.
Sering kali tokoh politik yang pada dirinya melekat isu-isu politik tertentu – seperti Gus Dur dan Soekarno – akan lebih sering dan efektif digunakan sebagai jembatan penghubung antara kandidat dan konstituennya.
Jadi agak berlebihan jika gambar Gus Dur dimonopoli oleh kelompok tertentu, entah itu yang menamakan dirinya Gusdurian maupun PKB yang mengklaim partai hasil buah tangan Gus Dur.
Hmm, akhirnya bingung juga ya. Sebenarnya, Gus Dur ini milik siapa? Jangan-jangan sengaja Gus Dur ini dibuat semacam “terra incognita” yang dalam kartografi dimaknai sebagai daerah yang belum dipetakan.
Kalau begitu jadinya, bisa-bisa konflik “kepemilikan” Gus Dur ini bisa panjang dan jadi isu laten jelang kontestasi politik lokal maupun nasional. Gawat juga ya. Hehehe. (I76)