Topik calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) Indonesia terus menjadi perbincangan. Saat ini, nama Ganjar Pranowo dan Erick Tohir tengah naik daun. PAN dan PPP terlihat tertarik dengan ide duet Ganjar-Erick. Lantas, bagaimana dengan Golkar?
“It’s my dream, not hers!” – Layangan Putus (2021)
Ujar Kinan saat mengonfrontasi suaminya, Mas Aris, atas perselingkuhan yang dilakukan Aris dengan Lidya. Kinan bertengkar hebat dengan Aris karena suaminya pergi berlibur dengan selingkuhannya ke Cappadocia, Turki. Ternyata, pergi ke Cappadocia merupakan impian Kinan yang belum pernah terwujud.
Kehadiran orang ketiga yang merusak rumah tangga sepertinya bukan hanya dialami oleh Kinan dan Mas Aris, melainkan juga oleh rumah tangga Koalisi Indonesia Bersatu (KIB).
KIB merupakan koalisi antara Partai Golkar, PAN, dan PPP yang sudah berdiri sejak Mei 2022 lalu. Meskipun sudah dibentuk sejak tahun lalu, koalisi ini masih belum menentukan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) usungan mereka.
Tentu saja, Golkar menempati posisi yang paling kuat di koalisi itu. Dibandingkan dengan PAN dan PPP, Golkar memiliki basis pendukung yang lebih besar. Makanya, Golkar tegas ingin usung Ketua Umum-nya (Ketum), Airlangga Hartarto, sebagai capres dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Akan tetapi, belakangan ini, PAN dan PPP terlihat tertarik dengan duet Ganjar Pranowo dan Erick Tohir. Hal ini pun diakui Ketua DPP PAN Bima Arya. Kata Pak Bima Arya sih, nama Ganjar dan Erick sangat populer di internal partai.
Di lain sisi, PPP juga terbuka terhadap usulan Ganjar-Erick. Kata Achmad Baidowi, Ketua DPP PPP, partainya memiliki hubungan yang baik dengan Pak Erick maupun Pak Ganjar.
Permasalahannya, Ganjar Pranowo diisukan sebagai bakal capres kuat dari PDIP. Sementara, Erick Tohir sendiri berasal dari golongan profesional alias tidak terafiliasi dengan partai.
Waduh, kalau kayak begini, bagaimana nasib Golkar dan Pak Airlangga di KIB? Dalam bab pertama buku Politics, Office, or Votes, Strøm dan Müller mengklasifikasikan perilaku partai politik ke dalam tiga kategori, yakni office-seeking party, policy-seeking party, dan voters-seeking party.
Teori ini melihat perilaku partai dalam mencapai tujuannya. Office-seeking party fokus pada maksimalisasi kontrol atas jabatan politik. Policy-seeking party fokus pada maksimalisasi peran partai dalam pembentukan kebijakan. Voters-seeking party fokus pada maksimalisasi dukungan elektoral untuk memenangkan jabatan politik.
Tipe perilaku partai yang terakhir ini dapat digunakan untuk memahami perilaku Golkar, PAN, dan PPP. PAN dan PPP adalah dua partai dengan dukungan elektoral terkecil pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2019. Sementara, Golkar justru masuk dalam top three partai dengan dukungan elektoral terbesar setelah PDIP dan Gerindra.
Bagi partai kecil, menjadi voters-seeking party adalah opsi yang bisa dibilang paling mudah untuk tetap kebagian jatah jabatan publik. Sama halnya dengan PAN dan PPP, mendekat ke partai besar dengan basis pendukung yang luas lebih menguntungkan daripada berjuang sendiri. Jika mendukung Ganjar, PAN dan PPP kemungkinan besar akan merapat ke PDIP – arguably partai dominan di Indonesia saat ini.
Sepertinya, PDIP bakal jadi orang ketiga – atau mungkin keempat – bagi “relationship” yang telah terjalin di KIB. Mungkin, seperti Kinan, Golkar akhirnya harus bersikap tegar atas “perselingkuhan” ini. Huhu. (A89)