“Ambisi politik tentu wajar saja, selama pandai menginsyafi batasan etika” – Najwa Shihab, jurnalis asal Indonesia
Gengs, pergantian tampuk kepemimpinan memang memiliki pola yang sangat berwarna, ya. Ada pergantian otomatis lewat keturunan dari satu raja ke anaknya, ada juga kepemimpinan yang diganti sebab perebutan tahta, dan ada yang berganti sebab suka rela.
Nah ,yang terakhir nih paling membingungkan. Secara, diksi sukarela terkadang nggak permanen alias temporal.
Kalau dalam film-film kolosal, seperti film Angling Dharma, diperlihatkan bagaimana pergantian suka rela yang menyesuaikan pada tempo tersebut berjalan. Seorang raja biasanya kan berburu toh? Dan, zaman dahulu jarak tempuhnya bisa memakan waktu lama.
Makanya, si raja memilih untuk menyerahkan tampuk kepemimpinan secara sukarela kepada patih untuk membantu keluarga kerajaan menjalankan roda pemerintahan. Namun, ini nggak selalu berjalan mulus tanpa halangan lho, cuy.
Ya, mungkin sudah bawaan dari oroknya manusia yang sangat betah kalau sudah duduk di kursi nyaman kekuasaan, jadinya beberapa orang yang dikasih mandat tersebut kadang kepalang offside alias memanfaatkan jurus aji mumpung demi reputasi pribadi.
Makanya, banyak tuh di film – seperti Prince of Persia – yang mencontohkan sisi gelap para mandataris dalam menjalankan amanah dari pemimpin asli. Hati-hati ya, gengs, kalau mau mempercayakan sesuatu pada orang.
Nah, tampaknya pola temporal tersebut banyak juga dijalankan oleh politisi kita. Berita yang terbaru dan agak menggelikan menimpa Partai Solidaritas Indonesia (PSI).
Sebenarnya nggak menggelikan sih awalnya karena sudah biasa toh ketua partai digantikan sementara oleh bawahannya. Begitu pula tindakan yang dilakukan Mbak Grace Natalie saat memberi mandat kepada Giring Ganesha sebagai pelaksana tugas (Plt) ketua umum partai.
Alasan Mbak Grace sih sebab ada kepentingan lanjut studi master di Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore (NUS). Sementara, ia tampaknya bakalan lebih fokus belajar terus deh sehingga ia merasa kalau nggak baik juga membagi waktu pada soal yang lain, apa lagi urusan politik.
Kesempatan itu nggak mungkin ditolak sama Giring lah, cuy. Secara, prestisius banget lho jabatan ketua umum.
Di kala orang berlomba-lomba supaya dapat memenangi kompetisi pucuk pimpinan partai, justru Giring kayak dapat durian runtuh tanpa perlu usaha menguras tenaga. Nah, namanya juga politik, di mana kesempatan yang datang jangan sampai disia-siakan, dan harus mampu dikapitalisasi untuk jangka panjang.
Mimin baru paham sama hukum visioner politik itu saat mengamati mulai bermunculannya baliho besar di sudut-sudut kota yang tertuliskan kurang lebih begini: ‘Giring Capres 2024’. Bahkan, baliho ini juga sempat terlihat di dekat Kebun Binatang Surabaya (KBS).
Wah, apa Mas Giring mau sambil menyelam minum air nih – menjalankan tugas partai sekaligus menebalkan nama pribadi? Aji mumpung dong namanya. Hehe.
Ya, mimin nggakpapa sih, sebab membangun citra itu wajar dan diperbolehkan. Yang mimin tanyakan nih, kira-kira Mas Giring sudah diizinkan sama Mbak Grace belum ya?
Wah, apa ini antara nekat dan cari sensasi ya? Pasalnya, beda antara keduanya selisih tipis ya, gengs. Malu lah harusnya sama partai lainnya. Mereka saja belum ambil ancang-ancang. Hehehe. (F46)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.