Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka menyebutkan bahwa Pemerintah Kota (Pemkot) Solo belum bisa menyanggupi permintaan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait pengadaan mobil dinas bertenaga listrik. Kok Gibran berani melawan instruksi presiden?
Kalian ingat nggak sih dengan pernyataan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno beberapa waktu lalu? Pas itu, Pak Sandi bilang kalau kita perlu berhenti menonton drama-drama Korea Selatan (Korsel) – atau dikenal dengan Drakor – dan mulai memperbanyak drama-drama Sunda (Drasun).
Ya, mungkin, maksudnya Pak Sandi itu baik sih. Dalam sinetron dan drama lokal kita, kan, banyak tuh pesan-pesan moral dan religius yang disampaikan. Misalnya nih, ada kisah-kisah azab yang diturunkan kepada mereka yang dianggap durhaka kepada orang tua.
Hmm, siapa sih yang nggak ingat sinetron-sinetron begitu? Banyak lho judul-judul dengan tema demikian – mulai dari Hidayah (2005-2007) sampai Azab (2018-2019).
Ngomong-ngomong soal kisah durhaka terhadap orang tua, jadi ingat nih soal Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka. Pasalnya nih, Gibran tampaknya tidak serta merta menuruti instruksi dari ayahnya sendiri, yakni Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Jokowi beberapa waktu lalu meneken Instruksi Presiden (Inpres) No. 7 Tahun 2022 tentang Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) sebagai Kendaraan Dinas Operasional dan/atau Kendaraan Perorangan Dinas Instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Inpres ini meminta pejabat-pejabat pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk menggunakan kendaraan bertenaga listrik (EV) sebagai mobil dinas. Tentu saja, ini bakal mengganti mobil dinas yang sudah ada – yang mana sebagian besar didominasi oleh mobil bertenaga bahan bakar minyak (BBM).
Menanggapi Inpres tersebut, berbeda dengan Wali Kota Medan Bobby Nasution yang bilang akan segera beralih ke EV, Gibran malah bilang bahwa Pemerintah Kota (Pemkot) Solo belum bisa menyanggupi. Katanya sih, alasannya adalah karena persoalan anggaran yang belum memadai.
Ya, memang sih, masih ada banyak persoalan dalam peralihan menuju penggunaan EV di masyarakat. Salah satunya adalah biaya investasi awal yang cukup mahal.
Bahkan nih, menurut laporan McKinsey & Company yang berjudul Making Electric Vehicles Profitable, ada selisih biaya (cost gap) yang cukup besar antara EV dan kendaraan bermotor pembakaran dalam (ICE) – bisa mencapai sekitar USD12.000 (sekitar Rp168 juta).
Widih, besar banget sih angka itu. Hmm, mungkin nih, kalau memang peralihan ke kendaraan listrik bisa sampai semahal itu, pemerintah perlu strategi yang lebih komprehensif nih biar peralihan ke EV bisa berjalan lebih mulus – at least di level pemerintahan terlebih dahulu lah ya.
Ini bisa jadi pengingat bagi Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan yang ditunjuk oleh presiden sebagai koordinator dan sinkronator bagi Inpres tersebut. Jangan sampai lah Pak Luhut nanti membuat anak dan ayah tidak akur gara-gara EV yang mahal lah ya. Hehe. (A43)