HomeCelotehGibran Ingin Jadi Sintesis Jokowi?

Gibran Ingin Jadi Sintesis Jokowi?

Yo wis ngko tak copot (Ya sudah nanti saya copot). Aku semangat nek nyopot-nyopot (kalau mencopoti). Menyalahi aturan kan katane,” – Gibran Rakabuming, Wali Kota Solo


PinterPolitik.com

Apakah kalian pernah mendengar ungkapan yang berbunyi, “Jatuh bangun aku mengejarmu, namun dirimu tak mau mengerti”? Ini bukan hanya lirik lagu loh, tapi ungkapan ini juga menunjukkan majas antitesis.

Antitesis merupakan sebuah majas yang menggunakan bahasa kiasan yang menggambarkan komparasi, perbandingan antara lawan kata atau antonim. Antitesis sering kali menimbulkan adanya pertentangan antara dua hal yang berbeda.

Akhir-akhir ini persoalan, tesis dan antitesis ramai jadi perbincangan di panggung politik kita. Hal ini karena isu yang berkembang terkait bakal calon presiden (capres) dari Partai NasDem, Anies Baswedan, yang disebut menjadi antitesis bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Kali ini, yang kita bicarakan bukan Anies loh, tapi orang yang mungkin agak sulit diterima sebagai antitesis Jokowi. Melalui perilakunya belakangan ini, terlihat ada upaya ke arah sana.

Orang yang dimaksud adalah Wali Kota Solo Gibran Rakabuming. Anak Presiden Jokowi ini berencana menertibkan sejumlah baliho bergambar Jokowi yang bermunculan di Kota Solo.

Baliho-baliho tersebut bertuliskan “Terima Kasih Pak Jokowi untuk BLT, BSU, dan Bantuan Sosial Lainnya. Subsidi BBM tepat Sasaran, Subsidi untuk Rakyat kurang mampu, yes..yes..yess.

Gibran mengaku telah mendapatkan informasi bahwa pemasangan baliho menyalahi aturan dan perlu ditertibkan. Nah, sikap seperti ini bukanlah yang pertama. Sebelumnya Gibran juga terkesan “mbalelo saat menolak menggunakan mobil listrik sebagai mobil dinas berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Jokowi.

Baca juga :  Rahasia Kesaktian Cak Imin-Zulhas?

Lantas, apakah sekumpulan tindakan Gibran ini mengindikasikan kalau ia ingin dianggap berseberangan dengan Jokowi? Apakah Gibran ingin menjadi antitesis Jokowi?

image 77
Gibran Berani Copot Baliho Jokowi?

Dalam konteks filosofis, istilah sintesis pertama kali dikemukakan oleh filsuf berkebangsaan Jerman, Friedrich Hegel. Ia memperkenalkan pemikiran dialektika sebagai suatu proses tiga tahap.

Tahap pertama disebut tesis, tahap kedua negatif atau disebut antitesis, dan tahap ketiga disebut sintesis, yaitu menyatukan atau mendamaikan dua tahap pertama dan kedua.

Dalam ilmu politik, ideologi, fenomenologi, bahkan fisika, pendekatan sintesis sering digunakan. Sintesis diterjemahkan sebagai integrasi dari dua elemen, yakni tesis dan antitesis, yang menghasilkan suatu hasil baru.

Bahkan, jika kita tarik ingatan pada sejarah politik Indonesia. Fenomena dengan skema antitesis ini juga hadir mewarnainya. Sebut saja Era Reformasi 1998 yang menjadi antitesis bagi pemerintahan Orde Baru yang dinilai otoritarian di bawah Presiden Soeharto.

Sejarah pergantian kepemimpinan di Indonesia dari periode ke periode hampir bisa dikatakan semuanya berangkat dari teori antitesis. Untuk menggantikan presiden sebelumnya, maka calon presiden yang akan datang harus berbeda.

Megawati Soekarnoputri digantikan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) karena muncul persepsi bahwa Mega tidak tegas. SBY digantikan oleh Jokowi karena masyarakat disebut menginginkan pemimpin yang tidak elitis dan dekat dengan rakyat.

Namun, persoalan tesis-antitesis ini dipersoalkan oleh Direktur Pusaka Pancasila Universitas Jakarta (Unija) Fakhruddin Muchtar.

Fakhruddin menilai yang penting bukan sebatas pertarungan tesis dan antitesis, melainkan pada apa yang dihasilkan oleh pertarungan dialektika itu, yakni tesis dan antitesis melahirkan sintesis.

Fakhruddin ingin mengembalikan perdebatan dialektika pada tempat semula yang sudah digariskan oleh Hegel. Tentu, hal ini menjadi menarik karena, pada akhir perdebatan, haruslah ada orang yang menjadi sintesis bukan hanya sebagai antitesis.

Baca juga :  Gibran: Kenapa Aku Selalu Salah?

Hmm, jadi kepikiran. Jangan-jangan upaya Gibran belakangan ini sebenarnya bukan ingin menjadi antitesis tapi lebih dari itu, Gibran ingin membangun citra sebagai sintesis dari bapaknya sendiri, yakni Presiden Jokowi.

By the way, coba ingat pertentangan ayah dan anak jadi ingat cerita mitologi Yunani, khususnya dalam Perang Titanomakhia. Saat itu, Zeus sebagai anak berperang dan berani mengalahkan ayahnya sendiri Sang Titan Kronos.

Semoga saja Perang Titanomakhia tidak terjadi di negeri ini. Nggak kebayang sih kalau Gibran beneran ngelawan Jokowi hanya karena ingin disebut sebagai sintesisnya. Alih-alih sintesis, nanti malah dikutuk jadi batu karena durhaka. Uppss. Hehehe. (I76)


Attila Sang Hun: Dewa Perang yang Hampir Kuasai Dunia
spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

#Trending Article

More Stories

Ganjar Punya Pasukan Spartan?

“Kenapa nama Spartan? Kita pakai karena kata Spartan lebih bertenaga daripada relawan, tak kenal henti pada loyalitas pada kesetiaan, yakin penuh percaya diri,” –...

Eks-Gerindra Pakai Siasat Mourinho?

“Nah, apa jadinya kalau Gerindra masuk sebagai penentu kebijakan. Sedang jiwa saya yang bagian dari masyarakat selalu bersuara apa yang jadi masalah di masyarakat,”...

PDIP Setengah Hati Maafkan PSI?

“Sudah pasti diterima karena kita sebagai sesama anak bangsa tentu latihan pertama, berterima kasih, latihan kedua, meminta maaf. Kalau itu dilaksanakan, ya pasti oke,”...