“Yo ra piye-piye. Aku karo Pak Anies santai-santai wae. Biar orang yang menilai. Aku maksude bercanda. Mosok semua pernah masuk got, termasuk saya ya. Ngopo to masuk got? Biasa to? Santai wae,” – Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Solo
Beberapa waktu lalu, sempat viral unggahan dari Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka yang memperlihatkan foto mantan Gubernur DKI Anies Baswedan masuk gorong-gorong.
Putra dari Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu mengatakan foto Anies yang ia unggah hanya sebagai guyonan alias bercanda.
Foto yang diunggah pun direspons Anies dengan nada bercanda sembari mengatakan, “Sedang santai ngopi di rumah tiba-tiba mata kedutan. Jebul lagek dirasani.” Kalimat Bahasa Jawa di akhir itu kira-kira artinya, “ternyata sedang digunjingkan”.
Meski Gibran mengaku unggahan itu dimaksudkan untuk “guyon” atau bercanda, pro-kontra masih saja menghinggapi video itu dengan tanggapan yang beragam. Ada yang melihat itu bentuk kedekatan. Ada juga yang menilai itu bentuk pelecehan.
Terlepas dari perdebatan reaksi unggahan itu, ada satu cerita yang perlu kita lihat dalam kacamata politik – sebut saja keunikan keakraban yang diperlihatkan antara Gibran dan Anies.
Sedikit memberikan konteks, sebelumnya, Anies dan Gibran pernah bertemu di Solo. Keduanya tampak akrab saat sarapan bersama di sebuah hotel dan menghadiri acara Peringatan Haul ke-111 Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi di area Masjid Ar–Riyadh, Pasar Kliwon.
Lantas, kenapa keakraban ini unik? Tentu, hal itu berakar dari beredarnya wacana yang memperlihatkan adanya “keterbelahan” politik antara Anies dengan Presiden Jokowi.
Jokowi dan Anies diibaratkan tesis dan antitesis, yaitu istilah filsafat yang kira-kira dimaknai sebagai dua pihak yang tidak bisa dipertemukan karena prinsip yang berbeda.
Alih-alih sama dengan Jokowi, Gibran sang anak malah memperlihatkan keakraban yang luar biasa. Bahkan, Gibran pernah mengungkapkan kalau Anies bagaikan seorang guru baginya.
Anyway, ada isu menarik yang menghiasi keakraban Anies dan Gibran, kedekatan mereka dihubung-hubungkan dengan keinginan Gibran untuk maju pada kontestasi Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta.
Pendiri lembaga survei KedaiKOPI, Hendri Satrio, pernah mengungkapkan hal yang serupa dan mengatakan kalau kedekatan Gibran dengan Anies adalah keputusan yang tepat. Hal ini dikarenakan dukungan kepada Anies di DKI Jakarta cukup tinggi – hingga 57 persen saat Pilkada 2017 lalu.
Jika kita cermati, baik Gibran maupun Anies dapat poin tersendiri dari kedekatan yang mereka perlihatkan di publik. Anies punya kepentingan untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) sedangkan Gibran – jika benar – punya kepentingan menuju Pilgub DKI Jakarta. Hmm, mirip simbiosis mutualisme ya? Hehe.
By the way, terlepas dari penilaian dan motif yang menghinggapi kedekatan Gibran dan Anies, ada pesan Gibran yang perlu menjadi pelajaran bagi kehidupan kita sehari hari loh.
Dalam sebuah klarifikasi, Gibran mengungkapkan kedekatannya dengan tokoh-tokoh yang dianggap berseberangan dengan ayahnya itu dimaksudkan untuk berguru – baik itu dengan Rocky Gerung maupun dengan Anies Baswedan.
Gibran berusaha membangun chemistry tidak hanya pada Anies Baswedan tetapi dengan siapa saja. Menurutnya, berguru tidak hanya dengan satu kubu atau partai politik, melainkan justru berguru dengan semua orang.
Nah, ini dia poinnya. Sering kali, kita tanpa sadar sudah tersekat pada perasaan yang kita bangun sendiri ketika ingin bergaul dengan orang lain. Biasanya, karena faktor like or dislike, kita membuat penghalang untuk berkomunikasi dengan orang lain.
Atau, bahkan, kita tidak mau berkomunikasi karena merasa ada semacam “dosa turunan” dari keluarga. Semisal, keluarga kita berkonflik dengan keluarga lain, kita jadi ikut-ikutan tidak mau menjalin hubungan baik dengan keluarga itu.
Well, akhirnya, harapan kita simbiosis mutualisme yang diperlihatkan Gibran-Anies benar-benar menghasilkan keuntungan untuk keduanya. Takutnya, yang diuntungkan cuma satu orang saja – kalau itu sih parasitisme. Uppsss. Hehehe. (I76)