“Enggak, enggak gerus suara PAN. Kita berjuang untuk lebih besar dari itu,” – Ridho Rahmadi, Ketua Umum (Ketum) Partai Ummat
Musim berganti, hari berlalu, tetapi semangat untuk mendirikan partai politik (parpol) yang berbasis massa Islam seolah tak pernah redup ditelan masa. Seolah-olah, kejayaan Masyumi pada Pemilihan Umum (Pemilu) 1955 selalu menjadi pijakan para politisi untuk tetap membuat partai Islam.
Hal ini yang tampak ketika kita melihat partai berbasis Islam, seperti Partai Ummat. Parpol ini terlebih dahulu mengalami “drama politik” jelang verifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) – akhirnya memenuhi syarat verifikasi ulang dan mendapatkan nomor urut 24.
Tidak sampai di situ, Partai Ummat saat ini sedang berhadapan dengan isu kalau partainya dianggap akan menjadi kompetitor alami dari Partai Amanat nasional (PAN).
Merespons hal tersebut, Ketua Umum (Ketum) Partai Ummat Ridho Rahmadi meyakini keikutsertaan partainya dalam pemilu 2024 tidak akan menggerus suara PAN. Alih-alih mengambil suara PAN, Partai Ummat diyakini akan mendapatkan suara lebih dari PAN.
Anyway, respons Ridho yang mengatakan akan mendapatkan lebih dari PAN, sebenarnya tidak menjawab pertanyaan apakah Partai Ummat akan menggerus suara PAN. Pasalnya, pernyataan Ridho tidak menjelaskan dari mana asal suara itu – yang mana bisa saja dari dalam atau luar PAN.
Tentu, tokoh politik yang menjadi sentrum pertemuan PAN dan partai Ummat adalah Ketua Majelis Syuro Partai Ummat Amien Rais. Sebagai mantan pendiri dan tokoh PAN, kehadiran Amien di Partai Ummat dianggap punya efek elektoral yang berdampak pada PAN.
Tokoh atau figur dalam panggung politik Indonesia memegang peran yang penting. Peristiwa ini imbas dari mulai memudarnya ideologi parpol – yang mana perilaku pemilih menentukan pilihannya tidak lagi berdasarkan ideologi, melainkan berdasarkan rasionalitas dan pragmatisme.
Massa ideologis yang selama ini menjadi basis massa beberapa partai politik akan pudar dan berganti menjadi massa rasional dan massa mengambang.
Pada satu sisi, massa rasional akan memilih berdasarkan program riil yang ditawarkan partai politik serta kerja-kerja konkret yang selama ini sudah dijalankan.
Sementara massa mengambang akan mudah bergeser ke mana arah angin bertiup. Pemilih jenis ini akan memilih partai yang lagi nge–tren pada saat tertentu dan cenderung pragmatis. Figur utama dalam partai juga sangat mempengaruhi swing voters dalam menentukan pilihannya.
Pada konteks Partai Ummat dan PAN, yang dimaksud figur utama tentunya Amien Rais. Amien akan menjadikan Partai Ummat ibarat parpol “kanibal”, yakni mengambil konstituen PAN dengan pengaruh Amien di sana.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi menerjemahkan gejala politik semacam ini dengan istilah “kanibalisme elektoral”, yaitu upaya sebuah partai mengambil suara dari partai lain yang juga dalam segmen atau ciri politik yang sama.
By the way, kok terkesan ada yang gagal move on ya? Coba deh, bayangin kalau sikap para konstituen yang dianggap akan berpindah dari PAN ke Partai Ummat, kan, berarti belum bisa melupakan sosok Amien dong ya.
Memori masa lalu memang selalu menghantui diri-diri manusia yang hidup di masa kini. Nah, ini bisa jadi bukti kalau gagal move on itu tidak hanya cerita bagi orang-orang yang sedang putus hubungan asmara, tapi juga ada di dunia politik.
Hmm, dalam konteks upaya “kanibalisme” konstituen partai politik berbasis massa Islam ini, sebenarnya, yang gagal move on bukan hanya konstituen loh. Bisa jadi, Pak Amien juga belum bisa meninggalkan kenangan indah bersama PAN. Ya, jadinya, PAN malah jadi tempat reuni sekalian “comot” dikit-dikit yang pernah setia dulu. Upppsss. Hehehe. (I76)