Pada 21 April 2023, Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri, resmi menetapkan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, sebagai calon presiden (capres) usungan partai. Padahal, baru Maret lalu, Ganjar mengalami blunder hebat akibat pernyataannya mengenai Piala Dunia FIFA U-20 di Indonesia. Karena itu, pantas kita pertanyakan, bisakah PDIP pertahankan titel king maker dengan capres pilihannya?
“Maka pada jam 13.45 dengan mengucap bismillah menetapkan saudara Ganjar Pranowo, sekarang adalah Gubernur Jateng, sebagai kader dan petugas partai untuk ditingkatkan penugasannya sebagai calon Presiden RI dari partai PDIP.” – Megawati Soekarnoputri (Ketum PDIP)
Belakangan, drama korea (drakor) terus merajai Top 10 TV Programmes In Indonesia Today di Netflix Indonesia. Salah satu drakor yang sedang ramai ditonton adalah Queenmaker.
Queenmaker bercerita tentang perjalanan seorang PR specialist, Hwang Do Hee, yang ingin membalas dendam terhadap mantan bosnya dari Grup Eunsung. Hwang Do Hee membalas dendam dengan membuat seorang pengacara (Oh Seung Sook) menjadi kandidat walikota Seoul, melawan Baek Jae Min, kandidat lain walikota Seoul usungan Grup Eunsung.
Ekspresi queen maker sejatinya berasal dari istilah king maker. Menurut merriam webster dictionary, king maker merujuk kepada seseorang yang memiliki pengaruh besar dalam menentukan kandidat dalam suatu jabatan politik. Hmm, kalau di Indonesia, kira-kira siapa ya king maker-nya?
Kalau merujuk kepada jabatan Presiden Indonesia yang sekarang, peran king maker tentu jatuh kepada partai pengusungnya, PDIP. Sebelum menjadi seorang Presiden, Joko Widodo (Jokowi) hanyalah seorang Wali Kota di Kota Solo.
Karier politiknya kemudian didorong dengan cara mencalonkan Jokowi sebagai Gubernur DKI Jakarta. Saking canggihnya branding politik Jokowi, belum selesai menjabat di Jakarta, ia sudah didorong kembali untuk mencalonkan diri sebagai presiden pada Pemilihan Presiden 2014 (Pilpres 2014).
Di sini, peran PDIP sebagai king maker terlihat jelas. PDIP secara perlahan membentuk Jokowi sebagai sosok Presiden melalui jalur karier (di Solo dan Jakarta). Kesuksesan PDIP dalam hal ini pun tidak bisa dipungkiri, sebab Jokowi terbukti berhasil memenangkan pilpres 2014 dan 2019.
Nah sekarang, PDIP kayaknya ingin melanjutkan kesuksesan ini pada Pilpres 2024. Belum lama ini PDIP resmi mengumumkan Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah (Jateng), sebagai capres usungan partai. Menurut berbagai survei, Ganjar sendiri memiliki elektabilitas dan popularitas yang tinggi di kalangan masyarakat. Akan tetapi, jalan tidak terlihat semulus itu bagi PDIP.
Maret lalu, Ganjar dihujani kecaman dari masyarakat karena dianggap sebagai penyebab dibatalkannya Piala Dunia FIFA U-20 di Indonesia. Terlepas dari benar atau tidaknya anggapan ini, kekecewaan sebagian masyarakat terhadap Ganjar nyata adanya. Tidak sedikit pula komentar warganet yang menyebut-nyebut istilah “petugas partai” dan semacamnya. Waduh.
Well, kalau di dalam politik, relasi antara aktor politik dan parpol emang cukup kompleks. Marland dan Wagner dalam tulisannya Scripted Messengers: How Party Discipline and Branding Turn Election Candidates and Legislators into Brand Ambassadors, nyebutin kalauada relasi antara branding politik personal dan disiplin partai. Ada kalanya, seorang kandidat perlu dilihat sebagai brand ambassador partai, sehingga harus tunduk terhadap pesan partai.
Kira-kira, bagaimana strategi PDIP untuk mempertahankan winning streak mereka dalam pilpres Indonesia? Apakah Ganjar ke depannya cenderung akan dijadikan brand ambassador partai, seperti persoalan Piala Dunia kemarin? Ataukah PDIP perlu merombak branding politik untuk Ganjar? (A89)