“Ketika partai kemudian sudah membahas secara keseluruhan dan dia akan mencari anak-anak bangsa yang menurut mereka terbaik, menurut saya, semua orang musti siap akan hal itu,” – Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah
Ibarat titah yang harus diterima, pesan dan arahan Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri tidak bisa dianggap hanya sebuah perintah politik semata, melainkan tugas suci yang sakral.
Secara dramatis, hal in diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto yang mengingatkan seluruh kader agar tidak terburu terburu-buru berbicara soal pencalonan kandidat presiden (pen–capres–an).
Banyak orang yang menduga pernyataan Megawati itu untuk merespons pernyataan dari Gubernur Jawa Tengah (Jateng) Ganjar Pranowo yang siap maju sebagai calon presiden (capres) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang.
Sedikit memberikan konteks, Ganjar menyatakan kesiapan dirinya jika diusung PDIP sebagai capres. Meskipun, ia tetap menghormati etika politik di internal, di mana mekanisme penentuan capres merupakan hak prerogatif Ketum PDIP Megawati.
Direktur Eksekutif Lembaga Riset dan Konsultasi Publik Algoritma Aditya Perdana menilai PDIP akan dihadapkan dengan dilema untuk memberikan dukungan ataupun tidak kepada Ganjar.
Hal ini terlihat dari kesan PDIP yang masih tarik ulur untuk mengeluarkan restu dan keputusan untuk menentukan capres yang akan diusung.
Realitas politik dilematis PDIP ini disebabkan adanya keinginan partai yang ingin melakukan hattrick kemenangan dalam pemilihan legislatif (Pileg) sehingga membutuhkan sosok Ganjar sebagai katalisator kenaikan suara.
Hal ini akan mudah dilakukan jika capres yang diusung juga memiliki potensi kemenangan yang tinggi alias efek ekor jas (coattail effect).
Dalam konteks ini, tentu harus juga mengakomodir kepentingan Ganjar yang sudah lama digadang-gadang sebagai salah satu kandidat yang akan berkompetisi pada Pilpres 2024 nanti.
Di sisi lain, ada Ketua DPR RI Puan Maharani yang juga disebut-sebut menjadi pewaris takhta trah Soekarno dan sudah lama mempersiapkan diri untuk maju pada PIlpres 2024 – meskipun secara kalkulasi elektabilitas Puan masih lebih rendah dibanding Ganjar.
Artinya, jika PDIP ingin tetap memaksakan diri mendukung capres dengan elektabilitas dan popularitas rendah, kemenangan tiga periode berturut-turut menjadi sangat sulit diwujudkan.
Anyway, dilema PDIP ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari siasat sebuah partai politik (parpol) untuk menyelesaikan konflik internal.
Upaya untuk me–manage konflik internal tentu akan melahirkan dilema-dilema seperti yang dihadapi PDIP. Tidak hanya ada dalam jagat politik, dilema ini juga sering dialami oleh setiap pranata organisasi di berbagai sektor.
Amy Gallo dalam bukunya HBR Guide to Dealing with Conflict melihat dilema yang muncul karena sebuah konflik sebenarnya bisa diselesaikan dengan memberikan keuntungan bagi semua pihak.
Perbedaan pandangan atas sesuatu hal sering kali berujung pada konflik, baik dalam bentuk konfrontasi langsung ataupun pasif. Biasanya, ini ditengarai karena adanya keengganan untuk berkomunikasi.
Gallo menyodorkan “komunikasi” atau dalam istilah politik yakni “negosiasi” menjadi alternatif untuk menyelesaikan konflik yang membuat semua pihak akan dilematis dalam mengambil keputusan politiknya.
Nah, dengan memahami konstruksi dilema PDIP ini, kita bisa melihat strategi tarik ulur PDIP menjadi semacam perilaku politik yang wajar karena PDIP dalam kondisi yang tidak ingin mengambil risiko besar dan juga tidak ingin melewatkan kesempatan besar pula.
Hmm, kayak layangan aja ya ditarik ulur. Takutnya, kalau terlalu sering tarik ulur, para konstituen PDIP yang saat ini mendukung Ganjar merasa di-PHP-in. Apa PDIP nggak takut mereka berpindah ke lain hati? Uppss. Hehehe. (I76)