Sejak kasus korupsi menjadi perbincangan hangat di publik, desakan untuk mengesahkan RUU Perampasan Aset muncul. Salah satunya adalah dari Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD.
“Di sini boleh ngomong galak, Pak. Tapi Bambang Pacul ditelepon Ibu, ‘Pacul, berhenti’, ‘Siap, laksanakan!” – Bambang “Pacul” Wuryanto, Ketua Komisi III DPR RI
Masih ingatkah kalian dengan permainan Nintendo klasik Super Mario Bros? Dalam permainan ini, Mario harus melalui berbagai rintangan berbahaya dan mengalahkan final boss untuk menyelamatkan sang tuan putri.
Final boss yang harus dikalahkan Mario pun tidak sedikit. Para final boss ini ada di setiap world dan menjadi musuh bagi Mario.
Perjalanan Mario dalam permainan ini sepertinya tidak jauh berbeda dengan apa yang sedang dialami oleh Pak Mahfud MD pada pertemuannya dengan DPR.
Semuanya berawal dari dugaan adanya Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang diungkapkan oleh Mahfud MD selaku Menko Polhukam sekaligus Ketua Komite TPPU. Kata Pak Mahfud sih, ada laporan yang masuk ke beliau.
Namun, persoalan ini masih belum menemui titik terangnya. Terdapat perbedaan laporan yang diterima oleh Pak Mahfud dan Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan (Menkeu). Jadinya, informasi jelas tentang dugaan TPPU ini terus simpang siur.
Simpang siur ini berujung ke dipanggilnya Pak Menko Polhukam dan Ibu Menkeu ke hadapan DPR, tepatnya Komisi III. Nah, dalam rapat inilah Pak Mahfud mendorong disahkannya RUU Perampasan Aset untuk men-support penyelesaian kasus-kasus seperti ini.
Desakan Pak Mahfud dijawab oleh Ketua Komisi III DPR RI Bambang “Pacul” Wuryanto. Menurut Bambang Pacul, Pak Mahfud salah me-lobby. Seharusnya, Pak Mahfud berbicara dengan ketua-ketua umum partai. Soalnya, menurut Bambang Pacul, anggota-anggota DPR tuh tunduk kepada bosnya masing-masing.
Wah, layaknya Mario di permainan Super Mario Bros, Pak Mahfud rupanya harus mengalahkan final boss para anggota DPR dulu nih kalau mau menggolkan suatu peraturan perundang-undangan.
Kalau kata Andrew Heywood dalam bukunya yang berjudul Politics, pola demokrasi yang seperti ini masuk ke dalam kategori demokrasi elitis. Elitism dipahami sebagai praktik yang dikuasai oleh para elite. Elite adalah segelintir orang yang memiliki power, kekayaan, dan privilese yang terkonsentrasi.
Menggunakan perspektif elitism ini, demokrasi yang kita kenal sebagai dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat hanyalah ilusi semata. Sebab, kekuatan politik sesungguhnya hanya dikuasai oleh segelintir orang, yakni para elite.
Elite-elite ini tidak mesti terlibat langsung dalam struktur pemerintahan. Bisa jadi, mereka hanya duduk manis di luar sambil memainkan boneka-boneka mereka di pemerintah.
Mendengar statement Bambang Pacul yang demikian, rasanya wajar jika kita mempertanyakan keterwakilan para anggota DPR. Siapakah sesungguhnya tuan dari DPR? Rakyat kah? Atau malah partai politik? (A89)