“Melihat sosok FH kini sudah condong jadi pemuja lingkungan Istana, hal itu terkonfirmasi dari pernyataan-pernyataannya di media massa, banyak juga yang penasaran, sekedar ingin tahu, apa yang melatarbelakangi perubahan itu?” – Samuel F. Silaen, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Studi Masyarakat dan Negara
Nama Fahri Hamzah memang menjadi salah satu magnet perdebatan politik di tingkat nasional. Namun, Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia itu kini disebut menunjukkan sikap politik yang berbeda dari biasanya pasca tak lagi menduduki kursi Wakil Ketua DPR RI.
Saat masih menjadi pimpinan DPR, Fahri selalu dikenal vokal dalam menyampaikan kritik pada pemerintah. Kritikan-kritikannya langsung begitu saja ditembakkan, terutama ke Istana atau ke pemerintahan Presiden Jokowi. Banyak dari kritikan tersebut yang kalau dibaca-baca lagi, pedasnya gila-gilaan. Ibaratnya makan mie instan pakai cabe rawit 100 buah. Uppps.
Kalau di sinetron, setiap pemerintah jadi peran protagonis, Fahri udah hampir pasti selalu jadi pemeran antagonisnya. Bahkan ada yang berseloroh bahwa kalau presiden yang memimpin Indonesia masih Soeharto, maka Fahri udah pasti akan “hilang” dari peredaran.
Namun, selepas dari Senayan, Fahri cenderung menjadi lebih lembut, terutama kepada pemerintah. Contohnya adalah terkait isu politik dinasti yang menimpa Presiden Jokowi, di mana putra sang presiden dan menantunya maju di Pilkada 2020 ini.
Kalau Fahri masih di DPR udah pasti nih doi bakal mengkritik keras fenomena ini. Tapi, yang terjadi saat ini adalah semacam “pembelaan halus”. Fahri memang menyebutkan bahwa apa yang terjadi pada Gibran Rakabuming Raka sebagai putra Jokowi yang maju di Pilkada Solo dan Bobby Nasution sebagai menantu Jokowi yang maju di Pilkada Medan, adalah dinamika politik biasa.
Hmm, tumben-tumbenan ya pernyataan kayak gitu muncul. Nggak heran sih banyak orang penasaran terkait hal apa yang sebetulnya menjadi faktor pendorong Fahri berubah sikap. Alasan itu penting loh, soalnya banyak “pemuja” alias penggemar Fahri di media sosial misalnya, yang mengidolainya karena kritikan-kritikan tajam yang disampaikannya.
Nggak heran sih, banyak orang yang kemudian menyamakan Fahri dengan Ali Mochtar Ngabalin yang kini jadi Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan (KSP). Sama-sama vokal, namun bisa menjadi pembela pemerintah. Uppps.
Tapi, banyak juga loh yang mengaitkan perubahan sikap Fahri ini dengan Partai Gelora yang dibidaninya. Udah pasti sebagai partai baru, Gelora butuh dukungan politik. Bersikap “baik” pada presiden dan pemerintah misalnya, akan menjadi langkah awal yang bagus untuk mendapatkan dukungan.
Hmm, jadi mirip-mirip nih sama kisah Leonard Snart alias Captain Cold di serial The Flash. Doi yang awalnya adalah penjahat atau antagonis, bisa berubah menjadi salah satu sekutu yang diperhitungkan oleh Flash karena kemampuannya mengatur rencana.
Menarik untuk ditunggu, apakah Fahri benar-benar akan menjadi seperti Snart. (S13)