“Dari sekarang sampai waktu kampanye itu, sembilan bulan. Ada waktu kosong sembilan bulan, kita mau ngapain? Kenapa waktu itu tidak dimanfaatkan untuk forum 17 parpol adu gagasan” – Fahri Hamzah, Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Gelora
Dalam literatur ilmu politik, terdapat dua tugas penting bagi partai politik (parpol). Pertama, sebagai media yang merumuskan berbagai kepentingan politik, pada posisi ini parpol menjelma sebagai agregator kepentingan politik.
Tugas kedua adalah tugas parpol sebagai artikulator. Parpol dituntut untuk mampu mengartikulasikan setiap kepentingan yang telah dirumuskan sebelumnya. Tugas ini haruslah terukur dan dapat dipertanggungjawabkan.
Mungkin, dua tugas ini yang ingin diuji oleh Wakil Ketua Umum (Waketum) Partai Gelora Fahri Hamzah. Ini terlihat ketika ia meminta agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggelar forum adu gagasan jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Bagi Fahri, forum adu gagasan punya peran penting untuk mengisi kekosongan waktu sembilan bulan usai penetapan peserta pemilu hingga waktu masa kampanye.
Sedikit memberikan konteks, jika kita lihat jadwal KPU, parpol peserta pemilu sudah ditetapkan pada 14 Desember 2022 lalu. Sementara, kampanye baru mulai bulan November 2023.
Anyway, saran Fahri ini seolah ingin memerintahkan agar parpol mengisi ruang kosong dan tidak “menganggur” sampai masa kampanye tiba. Fahri mengklaim dengan adanya forum adu gagasan ini akan menghindari praktik “politik dagang sapi”.
Harapannya, forum adu gagasan yang difasilitasi secara resmi melalui KPU ini menjadi sarana pendidikan politik bagi masyarakat.
Oh iya, salah satu turunan dari fungsi parpol sebagai media aggregator kepentingan politik. Ini haruslah sejalan dengan fungsi lain, yaitu sebagai sarana pendidikan dan sosialisasi politik.
Namun, dalam implementasinya di lapangan, masih ada parpol yang belum memaksimalkan fungsinya dalam melakukan pendidikan politik kepada publik.
I Gede Wijaya Kusuma dalam tulisannya Fungsi Partai Politik dalam Pendidikan Politik Masyarakat meyakini kalau pendidikan politik punya peran penting dalam membentuk kualitas individu yang sadar akan partisipasi mereka dalam pemilihan.
Hubungan antara pendidikan politik dan partisipasi politik yang baik akan memunculkan individu yang memiliki tanggung jawab dan secara aktif mengikuti perkembangan politik.
Partisipasi politik yang tidak didasarkan pada pendidikan politik akan memunculkan individu yang tidak memiliki rasa tanggung jawab dan tidak memiliki kesadaran terhadap hak dan kewajiban untuk bersama-sama menentukan jalan demokrasi.
Konsep semacam ini sejalan dengan konsep budaya politik partisipan yang diterangkan oleh Gabriel Almond dan Sidney Verba dalam bukunya The Civic Culture.
Almond dan Verba membagi budaya politik menjadi tiga klasifikasi, yaitu budaya politik parokial, budaya politik kaula (subyek), dan budaya politik partisipan. Nah, kesadaran melalui pendidikan politik akan menjadi katalisator adanya gerakan partisipasi masyarakat untuk ikut terlibat dalam pentas politik.
Hmm, keadaan semacam ini sering kita jumpai loh dalam kehidupan sehari-hari. Seperti halnya partisipasi kita di lingkungan rumah, untuk menjaga keamanan melalui program ronda malam.
Coba bayangkan jika kita tidak pernah sekalipun ikut nimbrung saat tetangga melakukan ronda malam, maka kita juga akan minim pengetahuan tentang manfaat dari program ronda malam itu.
Jika minim pengetahuan tentu akan mempengaruhi partisipasi kita dalam program ronda malam. Sederhana, partisipasi tidaklah hadir begitu saja, melainkan dibentuk melalui proses kesadaran, dan kesadaran itu hadir karena tingkat pengetahuan kita.
Well, usulan Fahri ini menarik untuk didorong sebagai salah satu upaya memaksimalkan peran dan fungsi parpol. Namun, apakah parpol yang lain sependapat? Bukannya waktu tenang ini baik bagi parpol untuk dimanfaatkan untuk merancang strategi jelang kampanye? Who Know’s. Hehehe. (I76)