Perusahaan-perusahaan media sosial (medsos) – seperti Facebook, Twitter, dan Instagram – akhir-akhir ini melakukan blokir terhadap sejumlah akun politisi dan bahkan perwakilan diplomatik negara. Apakah ini pertanda bahwa Facebook Cs memiliki kekuatan dan pengaruh yang lampaui aktor negara dan pemerintahan seperti Joko Widodo (Jokowi)?
“Don’t let Mark Zuckerberg get you knocked out” – The Game, penyanyi rap asal Amerika Serikat (AS)
Hampir setiap orang di dunia kini memiliki akun-akun di media sosial (medsos). Mulai dari pemimpin negara, influencer, hingga orang-orang biasa setidaknya hadir dalam dunia-dunia maya yang terhubung melalui jejaring internet.
Mungkin, semakin banyaknya populasi maya ini disebabkan oleh asumsi bahwa kehadiran daring merupakan salah satu gaya hidup yang perlu diikuti oleh banyak orang. Dengan begitu, setiap orang tidak akan merasa tertinggal oleh perkembangan zaman.
Meski begitu, sebuah film dokumenter yang berjudul The Social Dilemma (2020) justru mampu menunjukkan sisi lain dari medsos. Di luar berbagai konten menarik yang berseliweran di linimasa, medsos dianggap memiliki pengaruh yang sangat luas terhadap masyarakat di negara mana pun.
Baca Juga: Ada Tiongkok di Drama Myanmar?
Perusahaan-perusahaan medsos ditengarai mampu memengaruhi kondisi sosial dan politik masyarakat. Dengan tersebarnya konten-konten politik, polarisasi pun dinilai turut terjadi di diskursus publik – menyebabkan kain pemersatu sosial semakin robek dan robek.
Pengaruh medsos ini pun tampaknya tidak hanya terjadi dalam hal polarisasi politik, melainkan juga bagaimana medsos mampu memengaruhi konten mana yang perlu dikontrol. Bahkan, seorang pejabat pun tidak mampu terbebas dari “pengawasan” yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan medsos ini.
Sebut saja, Presiden Amerika Serikat (AS) ke-45 Donald Trump, yang akunnya banyak diblokir dan dibatasi di berbagai platform medsos – mulai dari Twitter, Instagram, hingga Facebook. Pemblokiran ini terjadi di akhir masa pemerintahan Trump pada Januari 2021.
Tidak hanya Trump, medsos pun ternyata juga mampu memblokir akun diplomatik milik Kedutaan Besar (Kedubes) Republik Rakyat Tiongkok (RRT) untuk AS. Kala itu, akun Twitter milik Kedubes itu membeberkan pembelaan atas tudingan genosida dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Xinjiang yang dilontarkan oleh pemerintah AS.
Padahal, selama ini misi dan perwakilan diplomatik memiliki hak-hak istimewa seperti imunitas diplomatik terhadap hukum yang berlaku di suatu negara. Namun, ini bisa jadi hal baru karena ruang yang tersedia di sini justru terjadi di ruang maya yang dikelola oleh Twitter.
Tentunya, hal ini bisa menimbulkan sejumlah pertanyaan. Mengapa perusahaan-perusahaan medsos ini bisa memiliki pengaruh sedimikian besar? Lantas, mungkinkah ruang-ruang maya ini memiliki manfaat strategis dalam politik luar negeri?
Antara AS-Tiongkok
Kehadiran perngaruh perusahaan-perusahaan medsos seperti Facebook dan Twitter ini bukan tidak mungkin memiliki manfaat strategis bagi politik antarnegara. Apalagi, persaingan antara dua negara besar ini semakin memanas kini.
Salah satunya adalah persoalan yang berkutat pada demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). Seperti yang kita ketahui, AS dan sejumlah negara Barat – seperti Uni Eropa (UE), Kanada, dan Inggris – baru saja memberikan sanksi kepada petinggi-petinggi Tiongkok terkait dugaan genosida dan pelanggaran HAM terhadap komunitas Uighur di Xinjiang.
Sanksi yang dilimpahkan pada Tiongkok ini bisa jadi pertanda akan kembalinya AS menerapkan pengaruhnya sebagai pembawa identitas “pelindung demokrasi” di bawah presiden baru, Joe Biden. Setidaknya, narasi dan diskursus yang dibangun oleh negeri Paman Sam tersebut kini kembali pada perbedaan antara demokrasi dan otokrasi.
Baca Juga: Mengapa Jokowi Caper ke Biden?
Pembedaan semacam ini sejalan dengan apa yang pernah dijelaskan oleh seorang profesor politik dari University of Chicago yang bernama John J. Mearsheimer. Dalam tulisannya yang berjudul Bound to Fail, Mearsheimer menjelaskan bahwa AS membangun sebuah tatanan internasional (international order) yang didasarkan pada prinsip-prinsip liberal, seperti demokrasi dan perlindungan HAM.
Penjagaan tatanan oleh AS seperti ini paling terlihat pada dekade 2000-an ketika Timur Tengah menjadi pusat perebutan pengaruh geopolitik antara AS dan sejumlah negara lainnya – seperti Rusia. Dalam periode waktu tersebut, AS menunjukkan dirinya sebagai “juara” demokrasi dan mempersoalkan pemerintahan-pemerintahan yang dianggap otoriter – seperti pemerintahan Saddam Hussein di Irak, Hosni Mubarak di Mesir, dan Muammaf Khadafi di Libya.
Bukan tidak mungkin, kali ini Biden berusaha membangun dan menerapkan tatanan serupa pada negara-negara Asia – khususnya Tiongkok – yang sempat merasa ditinggalkan oleh AS ketika Trump menjabat. Tentunya, untuk membangun tatanan ini, Biden memerlukan kesamaan kepentingan dengan negara-negara lainnya.
Di sinilah peran perusahaan-perusahaan medsos dapat masuk. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, narasi dan diskursus soal pelanggaran HAM yang diduga dilakukan oleh pemerintah Tiongkok turut mengisi banyak perdebatan di medsos.
Mungkin, medsos pun dapat menjadi salah satu instrumen yang digunakan oleh negara untuk menguatkan apa yang disebut oleh Jurgen Habermas sebagai communicative power (kekuatan komunikatif). Kekuatan ini berakar dari nilai dan keyakinan yang dinegosiasikan oleh para pengambil kebijakan.
Bukan tidak mungkin, aktor-aktor politik luar negeri juga berusaha menegosiasikan nilai-nilai yang diyakini oleh komunitas internasional. Dengan nilai dan keyakinan yang terbangun, tatanan liberal ala Biden pun dapat terbangun kembali melalui instrumen perusahaan-perusahaan medsos yang sebagian besar berasal dari AS.
Apalagi, pengguna medsos seperti Facebook, Instagram, dan Twitter tidaklah sedikit. Dengan jangkauan global, bukan tidak mungkin perusahaan-perusahaan medsos ini dapat mendukung Perang Dingin antara AS dan Tiongkok di bidang informasi.
Bila benar perusahaan-perusahaan medsos tersebut memiliki peran strategis sedemikian besar, lantas, sejauh mana kekuatan yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan medsos tersebut? Mungkinkah Facebook dan Twitter memiliki kekuatan yang melampaui sebuah negara (nation-state)?
Lampaui Jokowi?
Dalam hubungan internasional, negara biasa dianggap sebagai aktor tradisional yang selalu bergerak guna memenuhi kepentingan mereka masing-masing. Asumsi bahwa negara menjadi aktor utama ini kerap menjadi dasar pemikiran bagi pemikir-pemikir realis seperti Mearsheimer.
Namun, bagaimana bila ternyata aktor-aktor non-negara juga dapat memengaruhi politik luar negeri. Katakanlah, perusahaan-perusahaan multinasional – dan transnasional – yang juga dapat menegosiasikan kepentingan-kepentingan mereka dengan pemerintah.
Baca Juga: Kebisingan Politik, Salah Jokowi atau Media?
James Goodman dalam tulisannya yang berjudul Non-State Actors menjelaskan bahwa perusahaan-perusahaan multinasional (MNC) dan transnasional (TNC) bergerak di celah-celah yang ada di antara pemerintah-pemerintah negara. Setidaknya, mereka dinilai memiliki kekuatan material global (global material power) yang digunakan oleh Goodman guna menggambarkan pengaruh finansial MNC dan TNC secara global.
Namun, hadirnya Facebook, Twitter, Instagram, dan kawan-kawan sebagai aktor baru bukan tidak mungkin lebih dari sekadar kekuatan material global. Asumsi ini dijelaskan oleh Samah Abdelsabour Abdelhaey dalam tulisannya yang berjudul Bringing the Individual Back In yang menyebutkan bahwa CEO Facebook Mark Zuckerberg bisa saja memiliki pengaruh yang dapat berdampak pada hubungan internasional.
Dengan berfokus pada individu-individu yang dianggap kuat – seperti George Soros dan Bill Gates, Abdelhaey menilai bahwa Zuckerberg suatu saat bisa saja memiliki pengaruh untuk mewujudkan perubahan sosial dan politik. Bahkan, bisa saja individu-individu kuat seperti ini memiliki kekuatan untuk mengonfrontasi negara.
Pemilik perusahaan medsos seperti Zuckerberg bisa saja menggunakan kekuatan miliknya yang disebut Manuel Castells sebagai network-making power (kekuatan untuk menciptakan jaringan). Dengan instrumen-instrumen legal, finansial, institusional, dan teknologi, sang pemilik kekuatan dapat mewujudkan tujuannya yang dilekatkan pada jaringan (network) yang dibangun.
Bukan tidak mungkin, para pemilik perusahaan medsos ini juga memiliki kepentingan terhadap Tiongkok. Seperti yang kita ketahui, sebagian besar perusahaan teknologi dan medsos asal AS – seperti Google, Facebook, dan Twitter – harus dihalangi oleh the Great Firewall yang membuat mereka tidak bisa masuk ke pasar pengguna internet Tiongkok.
Zuckerberg, misalnya, berusaha mendorong AS dan negara-negara Barat lainnya untuk mengusik pembatasan internet yang dilakukan oleh pemerintahan Xi Jinping di AS. Pada tahun 2020, CEO Facebook itupun menyarankan agar negara-negara Barat menciptakan kerangka global yang dapat menjadi standar bagi perusahaan-perusahaan teknologi di seluruh dunia.
Usulan Zuckerberg ini juga datang menyusul rencana regulasi internet yang dilakukan oleh banyak negara – termasuk Indonesia. Seperti yang kita ketahui, pemerintahan Jokowi juga tengah menyiapkan berbagai aturan yang menyasar perusahaan-perusahaan teknologi.
Sejumlah benturan pun terjadi dalam persiapan regulasi antara pemerintahan Jokowi dengan perusahaan-perusahaan medsos seperti Facebook dan Twitter. Soal pengaturan konten, misalnya, pemerintahan Jokowi lebih menekankan pada istilah “konten terlarang” (restricted content). Sementara, Facebook dan Twitter lebih menekankan pada penggunaan istilah “konten berbahaya” (harmful content).
Selain itu, bukan tidak mungkin persaingan antara Facebook Cs sebagai media baru (new media) dapat mengancam kepentingan bisnis oligarki media konvensional yang selama ini disebut dekat pemerintah. Persaingan bisnis ini pun mulai terlihat dari bagaimana sejumlah perusahaan media konvensional mulai mempersoalkan secara hukum kehadiran perusahaan-perusahaan media baru – seperti YouTube dan Netflix.
Bila benar perusahaan-perusahaan teknologi asal AS ini juga memiliki kepentingan dan pengaruh di Indonesia, bukan tidak mungkin mereka juga akan menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi Jokowi untuk dipertimbangkan. Apalagi, platform mereka dapat memiliki pengaruh yang luas terhadap situasi dan dinamika sosial-politik di masyarakat. Bukan begitu? (A43)
Baca Juga: Google, Facebook, dan Twitter Mengancam Demokrasi?
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.