Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menegaskan kepada mahasiswa agar tidak hanya fokus dalam melakukan pergerakan. Pernyataan ini menuai reaksi mulai dari mahasiswa hingga politisi. Mereka tidak setuju dengan pernyataan Erick dan menganggap jika dirinya tidak memahami makna dari pergerakan mahasiswa.
Kritik yang cukup ‘menohok’ datang dari politisi PDIP Masinton Pasaribu. Mantan aktivis 1998 ini bahkan mengatakan jika Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir tidak pernah berkecimpung di dalam dunia organisasi mahasiswa sehingga tidak memahami arti dari pergerakan mahasiswa. Hmm, apa benar demikian?
Well, kalau dilihat dari rekam jejak pendidikan Pak Erick, ternyata Menteri BUMN ini menempuh perkuliahan di luar negeri, yaitu Amerika Serikat (AS) khususnya di Glendale University.
Tidak hanya itu, Pak Erick Thohir ternyata juga menempuh pendidikan pascasarjana di Universitas Nasional California. Wow, pasti penggunaan Bahasa Inggris Pak Erick mahir sekali nih karena menghabiskan pendidikan tingginya di negeri Paman Sam.
Nah, setelah menyelesaikan pendidikan master-nya, Pak Erick ternyata langsung fokus untuk berkecimpung dalam dunia bisnis. Perlu diakui sih, Menteri BUMN itu sangat mumpuni kalau soal bisnis.
Ini terbukti ketika dirinya berhasil mengakuisisi klub ‘raksasa’ Inter Milan pada tahun 2013. Namanya kala itu begitu harum karena menjadi orang Indonesia yang memiliki saham mayoritas sebesar 70 persen.
Maka, tidak heran jika dirinya menyarankan mahasiswa untuk tidak hanya fokus pada pergerakan tetapi bisa ‘melirik’ dunia bisnis. Eits, sepertinya Pak Erick lupa nih, kalau aktivitas pergerakan yang dilakukan mahasiswa itu bukan hal baru lho.
Dalam tulisan berjudul The Student Movement and the Rise and Fall of Suharto, Eric Beerkens memperlihatkan jika pergerakan mahasiswa sudah terjadi sejak tahun 1966 ketika Presiden Soekarno masih aktif sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
Well, rekam jejak ini membuktikan pergerakan mahasiswa bukanlah hal baru melainkan sudah terjadi sejak lama bahkan sebelum Pak Erick lahir lho. Ups.
Ya, bagaimana pun juga sebuah pergerakan tentu memiliki pengaruh yang penting khususnya dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam artikel berjudul Social Movements in Contentious Politics, Sidney Tarrow menjelaskan bahwa istilah ‘gerakan sosial’ merupakan perlawanan orang-orang yang memiliki solidaritas dan tujuan bersama melawan elite.
Nah, yang perlu digarisbawahi adalah kata-kata solidaritas. Hmm, tentu kata ini identik dengan kebersamaan antar-individu yang merasa senasib sepenanggungan.
Ikatan solidaritas yang kuat ini akhirnya mampu mendorong tiap individu untuk mengekspresikan pendapatnya demi mendapatkan kesetaraan dan keadilan. Pemahaman ini terlihat lho di setiap gerakan mahasiswa karena umumnya mereka melakukan pergerakan karena ingin menuntut keadilan.
Maka, tidak heran kalau mahasiswa yang pernah aktif dalam pergerakan terasa lebih ‘luwes’ karena terbiasa mengekspresikan dirinya. Hmm, lalu bagaimana dengan Pak Erick? Apakah bisa ‘luwes’ juga seperti mereka yang sudah terbiasa melakukan pergerakan?
Well, kalau belum, mungkin Pak Erick bisa mencoba ‘kuliah’ lagi di perguruan tinggi Indonesia seperti Institut Kesenian Jakarta (IKJ) agar bisa lebih leluasa ketika mengekspresikan diri di media sosial (medsos). Kan, kalau mau mengandalkan medsos, harus ‘luwes’ dan kreatif juga dong seperti anak-anak muda. (G69)