“Menjadi pejabat, pohonnya memang tinggi, tapi buahnya tidak ada. Enak jadi pengusaha” – Chairil Tanjung, pengusaha asal Indonesia
Gengs, menurut mimin, dari banyak film yang mengisahkan kerajaan, konflik antar dua tokoh perempuan yang berpengaruh besarlah yang paling menguras tenaga. Kalian para penikmat film kolosal pasti tahu konflik antara Daenerys Targaryen vis-a-vis Cersei Lannister dalam serial Game of Thrones (GoT), kan?
Coba diingat-ingat berapa korban yang gugur antar kedua belah pihak. Banyak banget. Lebih banyak dari korban pertempuran antara Robert Baratheon melawan Madking.
Emang repot kalau dua orang ini sudah saling lempar tatapan mata kekuasaan ya, cuy? Hal yang sama juga mimin rasakan di Indonesia, tepatnya di Jawa Timur (Jatim). Adalah adu persepsi antara Tri Rismaharini vis-a-vis Khofifah Indar Parawansa.
Emang deh kedua perempuan tangguh Jatim itu sudah lama terlibat adu opini dan persepsi. Bahkan, sejak awal munculnya si biang kerok Covid-19 di Surabaya pun keduanya telah terlibat laga panas.
Salah satunya ya mengenai mobil polymerase chain reaction (PCR) itu, cuy. Nah, yang terbaru, baru anget nih. Bu Khofifah dan Bu Risma saling “jewer-menjewer” tentang status zona Surabaya.
Awalnya, Bu Risma melontarkan statement bahwa Surabaya sudah jadi zona hijau, yang itu berarti tandanya aman untuk aktivitas apa saja. Mungkin, karena Bu Risma kegirangan kali ya dengan hasil kurva Covid-19 di Surabaya yang mengalami pelandaian.
Namun, ini bukanlah bak gayung bersambut. Alih-alih memberikan dukungan, Gubernur Khofifah malah menampik pendapat Risma. Bahkan, Bu Khofifah seakan ngasih edukasi alias “ngajarin” Bu Risma tentang mekanisme penentuan zona dengan menyatakan, “Rek, zona itu bukan (kewenangan) kabupaten/kota, bukan provinsi.”
Ya, mimin mau nggak mau harus membenarkan ucapannya Bu Khofifah, cuy, karena memang penentuan status zona kan bukan sepenuhnya wewenang pemerintah daerah, melainkan Satgas Covid-19 daerah terkait.
Itu pun harus atas peninjauan ilmiau dari Satgas Pusat. Jadi, bukan asal berpendapat kayak dukun begitu ya, cuy. Hehe.
Namun, kalau ditelisik lebih dalam secara psikologis, mimin juga paham kok kenapa Bu Risma statement begitu. Barang kali, efek Surabaya sebagai pusat ekonomilah yang menyebabkan Bu Risma nekat berkomentar demikian.
Secara, kalau Surabaya nggak buru-buru zona hijau, bisa-bisa roda ekonomi mampet. Bisa-bisa, pendapatan masyarakat di Kota Pahlawan itu merosot, cuy.
Selain itu, juga kemarin ada ramai-ramai demo terkait peraturan kota dalam memberlakukan jam malam kan. Merasa tertekan dengan keadaan, Bu Risma yang terkenal rasional pun harus terpaksa buka suara meski harus mengabaikan mekanisme kerja soal status zona.
Hiks, emang repot jadi pemimpin daerah ya. Apa yang perlu diwaspadai sebenarnya bukan masalah itu sih karena masing-masing punya alasan meski juga harus direvisi apa yang keliru dari pendapat Bu Risma.
Justru, yang perlu dipertanyakan, Bu Khofifah merespons begitu emang niat menegur dan meluruskan toh? Bukan ada niat lain kan?
Mimin khawatir aja kalau ini disalahartikan sama netizen negara ber-flower. Secara, masing-masing sudah banyak yang diisukan punya jago buat maju Pilwalkot Surabaya ke depan.
Kalau memang beneran mengedukasi, ya syukurlah – tandanya saling mengingatkan masih dibudidayakan di Indonesia ini. Namun, kalau ada motif tertentu, kayaknya dunia perkomentaran antar-keduanya bakal terus berlanjut. Ih, mimin atut. Hehehe. (F46)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.