Site icon PinterPolitik.com

Di Balik Golkar Minta PT 7%

Di Balik Golkar Minta PT 7%

Ketua DPP Partai Golkar Ace Hasan Syadzily. (Foto: Kabar Golkar)

“Do it big and let the small fall under that” – Lil Wayne, penyanyi rap asal Amerika Serikat (AS)


PinterPolitik.com

Hey, gengs, pernah membayangkan nggak kalau kepartaian Indonesia nih ambigu? Kalau dilihat sejak era Reformasi sihmemang begitu faktanya.

Coba nih dirunut saja dari Pemilu 1999 tercatat ada 48 partai yang lahir, dan hanya 21 yang lolos ke parlemen. Kemudian, paa Pemilu 2004, 24 partai ikut dalam pesta yang menghasilkan Golkar sebagai juara parlemen. Lantas di Pemilu 2009, ada 38 partai yang tampil, dengan hasil hanya 9 partai yang mencapai parliamentary threshold (PT).

Berlanjut di 2014, jumlah partai yang bertanding naik lagi menjadi 12 partai sedangkan partai yang lolos PT hanya 10 partai. Dan, pada Pemilu 2019 yang lalu, jumlah partainya sama, yakni 14 partai, dengan hasil hanya 9 partai yang lolos merasakan kursi parlemen.

Coba kita simak lagi deh hasil-hasil Pemilu di atas. Ada yang menarik nggak? Pasti ada dong, terutama mengenai PT dan fenomena jumlah partai. Nah, kalau begitu, kira-kira nih, Pemilu depan berapa ya jumlah PT dan berapa partai yang ikut kontes?

Mimin sih masih menyimak perdebatan para politisi yang ribut soal itu dalam rapat revisi Undang-Undang (UU) Pemilu. Meski belum ketok palu, mimin kok tertarik ya dengan pilihan Golkar.

For your information (FYI) nih, partai Golkar pasang angka 7% buat ambang batas parlemen atau PT, cuy. Wih, berani amat.

Coba kita simak penjelasan salah satu politisinya. “Partai Golkar mengusulkan ambang batas parlemen menjadi 7%. Kebijakan PT 7% ini sebagai upaya kita untuk lebih menyederhanakan partai politik sehingga sistem presidensial kita dapat lebih efektif,” kata Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Golkar Ace Hasan Syadzily.

Tuh dibaca deh, cuy. Bijak kan? Mimin baru sadar juga sih ternyata masih ada politisi legislatif yang peduli dengan sistem presidensial meski kelakuannya sangat parlementer. Upsss.

Baiklah, kita fokus di diksi “…sehingga sistem presidensial kita dapat berjalan efektif.” Benarkah begitu? Coba kita cek fakta sejarahnya – mumpung Indonesia banyak pengalamannya nih soal persinggungan kepartaian dengan efektivitas presidensial.

Di tahun 1955, partai-partai di Indonesia bermunculan yang jumlahnya ada 172. Widih, banyak banget, untung saja politisinya baik-baik. Jadi, nggak main keroyokan kayak sekarang. Hehe.

Nah, salah satu pergolakan yang kita ingat di zaman itu adalah kejengkelan Soekarno dan kemelut antarfaksi di parlemen. Sampai-sampai, mungkin sudah hilang kesabaran, Soekarno pun membubarkan parlemen sebab dinilai ‘banyak partai, jadi bertele-tele’.

Bayangin andai dalam keluarga banyak faksi yang berbeda-beda selera makannya. Ribet nggak kalau mau memutuskan rencana makan? Ya, jelas. Hehehe.

Ya, memang sih semua bisa diselesaikan dengan musyawarah, tapi kan yang menjadi pertimbangan lebih yaitu efisiensi waktu. Selain itu, berapa banyak biaya anggaran buat konsumsi masing-masing partai. Bisa dipikir deh, kalau partainya kebanyakan, yang ada bukan efisiensi anggaran, tapi buang-buang uang.

Nah, kalau ternyata 7% nih jadi disepakati, kayaknya kita bakal melihat pertunjukan demokrasi yang sederhana tapi mewah hasilnya deh. Sekali-kali lah belajar dari demokrasi di Jerman, di mana partai banyak yang berkoalisi. Setidaknya itu mengajarkan bahwa partai besar dan kecil memang harus tahu diri sih. Hehehe. (F46)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version