Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan dikritik dan menjadi sorotan karena terlihat bercakap-cakap dengan telepon genggamnya kala Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan sambutan dalam sebuah kegiatan. Kabarnya, panggilan telepon tersebut berasal dari Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin yang melaporkan soal perkembangan penanganan pandemi Covid-19.
Telepon seluler. Frasa ini seharusnya digunakan untuk menggambarkan sebuah alat atau gawai yang semakin ke sini semakin banyak digunakan. Meski begitu, tidak banyak orang negeri Nusantara di alternate universe Bumi-45 menggunakan frasa itu untuk menyebut gawai itu. Justru, kebanyakan dari mereka lebih sering memilih kata smartphone dan handphone – atau bahkan hanya singkatan HP.
Terlepas dari istilah apa yang dipakai, hampir semua warga negeri Nusantara nyatanya sangat bergantung pada gawai ini. Bagaimana tidak? Dengan sedikit ketukan pada layar gawai itu, seseorang langsung bisa terhubung ke berbagai informasi dan medium komunikasi ke seluruh dunia.
Saking makin ramainya penggunaan gawai ini, sejumlah produsen budaya populer pun mengadopsi gagasan telepon seluler ke dalam karya-karya mereka. Salah satunya adalah film horor yang berjudul Dering.
Alurnya pun mudah dipahami. Ketika telepon seluler berdering, sang pemiliknya akan menjawab panggilan tersebut. “Tujuh hari lagi…,” ucap lirih seseorang yang menghubungi si pemilik telepon seluler.
Bagian menyeramkannya adalah waktu yang diucapkan karena waktu tersebut adalah sisa waktu bagi penerima telepon tersebut untuk hidup. Sungguh sebuah kutukan yang mengerikan.
Kisah dalam film ini seraya menghantui Loehoet, seorang pejabat di negeri Nusantara. Mulanya, setelah menonton film tersebut, Loehoet tidak merasakan ada hal yang aneh. Namun, semua berubah ketika dia menjawab telepon selulernya yang berdering.
“Tiga bulan lagi…,” ucap suara lirih seseorang yang menghubungi Loehoet. “Halo! Siapa ini? Jangan nge-prank ya!” jawab Loehoet. Namun, sebelum dijawab, panggilan itu langsung terputus.
Baca Juga: Ahok “Ingin” Bisa Seperti Luhut?
Loehoet pun bingung. Haruskah dia melaporkan hal ini kepada orang lain dan berisiko untuk meneruskan kutukan dering kepada orang-orang lain?
Daripada meneruskan risiko itu, Loehoet akhirnya menghubungi kembali nomor tersebut. Tak lama, nomor itu menjawab.
Loehoet: Halo, ini siapa ya? Tadi ngapain ngomong model-model horor gitu?
Boedi Goenadi: Oh, itu tadi saya, Pak. Wah, nomor saya kok gak disimpan sih?
Loehoet: Oalah, Pak Boedi ternyata. Ada apa telepon tadi? Dan kenapa suaranya gitu?
Boedi Goenadi: Tadi suaranya putus-putus, makanya saya langsung tutup, Pak. Sorry, sorry. Jadi, begini, Pak Loehoet. Ini jumlah kasus meningkat terus. Padahal, tiga bulan lagi ada pertemuan-pertemuan tingkat tinggi untuk Kelompok Negara 20 alias N20. Bisa bahaya nih, Pak, kalau dibiarin terus.
Loehoet: Waduh, iya ya. Yaudah habis ini saya ngomong sama Pak Jakawi. Hmm, Pak Jakawi masih pidato lagi…
Ternyata, oh, ternyata, kekhawatiran horor yang ada di benak Loehoet bukanlah horor ala Dering, melainkan horor kasus Om Ikron yang semakin melonjak. Akankah Loehoet beraksi lagi untuk memberantas kasus-kasus ini seperti sebelum-sebelumnya? (A43)
Baca Juga: Ketika Ridwan Kamil “Dimarahi” Luhut
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.