Para Baladewa – nama penggemar Dewa 19 – menikmati konser besar “Pesta Rakyat 30 Tahun Berkarya Dewa 19” pada beberapa hari lalu. Namun, ada juga para “baladewa” lain yang ternyata ikut menikmati konser tersebut.
“Tak usah kau cari makna hadirnya diriku. Aku di sini untukmu” – Dewa 19, “Aku Disini Untukmu” (1997)
Menurut kalian, musik yang klasik itu seperti gimana sih? Apakah musik-musik klasik itu semacam musik yang dihasilkan oleh Wolfgang Amadeus Mozart dan Ludwig van Beethoven? Atau justru lagu-lagu yang lebih kontemporer tetapi tidak lekang oleh zaman?
Well, Mozart dan van Beethoven bisa disebut musik klasik in terms of classical. Namun, ada juga musik-musik kontemporer yang disebut “klasik” as in classic karena dianggap bisa tetap enak didengarkan hingga generasi terbaru.
Musisi-musisi yang kerap disebut membuat musik-musik yang classic adalah The Beatles. Kalian yang Milenial dan Generasi Z pasti tahu kan lagu-lagu mereka seperti “Yesterday” (1965) dan “Hey Jude” (1968) – meski sudah dirilis sejak dekade-dekade lalu?
Nah, kalau Britania (Inggris) Raya punya The Beatles, Indonesia mungkin punya Dewa 19 yang dibentuk pada tahun 1986 di Surabaya, Jawa Timur (Jatim). Meski sudah berada di industri musik Indonesia, lagu-lagunya tetap mencuri hati banyak orang hingga kini – seperti “Kangen” (1992) dan “Kita Sedang Tidak Bercinta Lagi” (1992).
Nah, tampaknya, inilah mengapa kemarin di konser “Pesta Rakyat 30 Tahun Berkarya Dewa 19” banyak dihadiri oleh para politisi yang juga menikmati musik-musik Dewa 19 pada tahun-tahun itu. Bagi mereka, musik-musik band ini bisa dibilang menjadi musik-musik yang “klasik”.
Mulai dari Ketua Umum (Ketum) Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, hingga Ibu Negara Iriana Joko Widodo (Jokowi) menjadi Baladewa – sebutan untuk penggemar Dewa 19 – sepenuhnya.
Namun, kenapa sih politisi-politisi yang datang ke konser dapat sorotan? Kenapa mereka bisa diuntungkan dari kehadirannya di konser tersebut?
Inilah yang coba dijelaskan oleh Constance Duncombe dan Roland Bleiker di tulisan mereka “Popular Culture and Political Identity” dalam buku Popular Culture and World Politics: Theories, Methods, Pedagogies. Kata mereka, budaya populer – seperti musik – memiliki kekuatan politik dalam hal emosi.
Artinya, aktor politik bisa menggunakan budaya populer untuk mendapatkan dampak emosional yang diinginkan. Salah satu contohnya adalah Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang melakukan mimikri atas adegan di serial Homeland (2009-2020) untuk memunculkan rasa takut dari masyarakat Amerika Serikat (AS).
Dalam sebuah video yang dibuat oleh ISIS, mereka memenggal sejumlah tawanan atau sandera. Apa yang mereka lakukan meniru adegan dalam serial tersebut.
Nah, mungkin nih, Pak Prabowo, Pak Anies, Mas AHY, dan sejumlah politisi lainnya juga ingin memunculkan dampak emosional dengan muncul di konser besar tersebut. Tanpa harus berkata-kata banyak, mereka pun bisa menunjukkan bahwa mereka tetap relevan di masyarakat – misal melalui musik yang memang disukai banyak orang.
Jadi, layaknya lirik Dewa 19 dalam lagu “Aku Disini Untukmu” (1997) di awal tulisan, tanpa perlu dipertanyakan makna kehadiran mereka, Pak Prabowo dan para politisi lainnya ini tampak sedang menunjukkan bahwa mereka ada di tengah masyarakat. Hmm, beneran ya nggak tuh? Hehe. (A43)