“Hanya kubu Pak Hasto yang tidak mau berkomunikasi yang aliran sombong. Ya, saya kira itu hak dari PDIP.” – Andi Arief, Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Demokrat
Pertarungan politik seolah tidak pernah lelah. Sekalipun rehat sejenak, para politisi hanya memikirkan strategi untuk langkah-langkah “perang” berikutnya.
Hal ini yang terlihat dari pertengkaran dua partai besar yang pernah berkuasa, yaitu Partai Demokrat dan PDIP. Demokrat diwakili Andi Arief dan, di sisi PDIP, ada Hasto Kristiyanto yang sudah berulang kali berselisih.
Kali ini, muncul istilah kubu sombong di PDIP. Pernyataan ini diucapkan oleh Andi yang menyebutkan bahwa sebagian besar orang di PDIP bisa diajak komunikasi. Namun, hanya kubu Hasto yang menurutnya enggan berkomunikasi.
Bahkan secara umum, menurutnya sebagian besar partai politik tidak sombong lantaran membuka pintu untuk saling berkomunikasi. Membuka ruang komunikasi yang besar pada umumnya dianggap sebagai bentuk “keluwesan” sebuah partai berpolitik.
Otto von Bismarck pernah berucap, “Politics is the art of the possible, the attainable, the art of the next best”. Makanya, dalam politik, kemungkinan itu ditentukan oleh pilihan dan pilihan menjadi terbuka jika ada ruang komunikasi.
Layaknya politik, komunikasi juga merupakan seni. Perlu diingat kalau seni tidak dapat dibatasi dengan rumus eksakta yang kaku, apalagi dibatasi hanya dengan satu pilihan tunggal.
Seni adalah mengambil keputusan dari ribuan pilihan yang berdasarkan atas perspektif, nuansa, gaya, timing, momentum, dan berbagai variabel seni lainnya. Seperti halnya seni yang multidimensi, politik juga demikian.
Pilihan-pilihan politik itu multi–dimensi. Namun, berbeda dengan seni, pilihan-pilihan multi-dimensi politik diikat oleh satu hal, yakni kepentingan.
Kepentingan inilah yang membuat bagian kecil dari sebuah partai – atau bahkan partai itu sendiri – tidak diperkenankan untuk menutup diri atau introvert.
Anyway, istilah introvert ini hanya sebagai kiasan untuk menunjukkan apa yang ingin digambarkan oleh Andi Arief. Lantas, apakah benar PDIP – khususnya kubu Hasto – ini introvert?
Pada satu sisi, mungkin benar kesan introvert itu jika dilihat dari pola PDIP yang lebih selektif dalam hal berkomunikasi dengan Demokrat.
Layaknya seorang introvert yang hanya ingin berkomunikasi dengan orang yang satu frekuensi, begitu pula dengan PDIP yang kita tahu secara politik tidak satu frekuensi. Tentu, ini terkait “belahan politik” antara Ketua Umum (Ketum) PDIP Megawati Soekarnoputri dengan Ketua Majelis Tinggi Demokrat.
Di sisi lain, pola komunikasi PDIP ini juga dapat ditafsirkan sebagai sebuah siasat politik. Mungkin saja PDIP punya hitungan sendiri dalam hal membangun komunikasi politik dengan partai lain.
Dengan kondisi politik yang masih cair seperti sekarang ini, PDIP mungkin membiarkan semua pihak untuk saling berkomunikasi lebih dulu. Sampai pada satu titik, mungkin PDIP akan bergerak dan langsung mengunci kesepakatan politik.
Kalau memang benar seperti itu, maka kemungkinan PDIP tetap pada siasat yang sering dilakukan, yakni untuk tetap bermain di akhir.
Well, layaknya anak introvert, PDIP mungkin punya cara berkomunikasi yang harus jeli dibaca oleh Demokrat. Ada adagium klasik yang menyebut, “tidak berbicara adalah sebuah komunikasi tersendiri.”
Artinya, jangan sampai Demokrat hanya melihat komunikasi itu dalam konteks komunikasi verbal dan langsung. Padahal, bisa jadi, PDIP ingin melakukan komunikasi dengan cara simbolik dengan Demokrat. Hehehe. (I76)