“Blame it on rebellion. Don’t blame it on me” – Sam Smith, penyanyi asal Inggris
PinterPolitik.com
Kembali lagi dan lagi. Setelah sebelumnya staf khusus milenial membuat Istana hampir kehilangan muka (masih hampir lho ya), sekarang ada Menteri yang seharusnya sudah tahu mana tempat becek dan mana tempat bersih justru malah membuat Presiden harus menambah “konsumsi” obat sakit kepala di Istana – alias kondisinya tambah ruwet.
Adalah Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly yang sudah berdiri kokoh tak tertandingi selama dua periode pemerintahan Presiden Joko Widodo. Sebentar, kok kayak jargon produk semen ya? Hehehe.
Pak Yasonna akhir-akhir ini memang banyak didera fakta miring – bukan isu lagi nih, terutama tindakan yang dinilai konyol oleh banyak pakar saat doi mengeluarkan kebijakan asimilasi terhadap 30 ribu narapidana.
Kalau diamat-amati, sebenarnya Pak Yasonna nih baik sih niatnya. Coba deh disimak statement-nya berikut, “saya mengatakan hanya orang sudah tumpul rasa kemanusiaannya dan tidak menghayati sila kedua Pancasila yang tidak menerima pembebasan narapidana (napi) di lapas over kapasitas.”
Biuh, cuy, heroik banget kan maksud baik dari Pak Yasonna? Alasan yang ingin digelorakan oleh doi sudah jelas, yakni kapasitas lapas yang over. Selain ini bisa nyebabin para tahanan “bengek”, susah gerak, dan kesemutan, harus diakui overcapacity juga bisa membuat si kecil Corona mudah mendapatkan inangnya.
Namun, sayangnya, Menkumham ini agak lupa, bahwa orang melakukan kejahatan ini bukan hanya faktor niat, tapi juga kesempatan – begitu kata Bung Napi. Coba bayangkan. Meskipun napi sudah menjadi baik sekalipun, sebab kondisi sepi dan serba tegang akibat ekonomi lesu seperti sekarang ini bakal memunculkan lagi tindakan nekat kembali.
Ya, oke lah, kita berprasangka baik kalau 30 ribu napi yang dikeluarkan mungkin sudah menjadi orang baik. Tapi, kan, urusan kriminal gak melihat sebaik apa persangkaan kita.
Nah, buktinya nih, tidak sedikit mantan napi yang diberikan asimilasi dan baru keluar, eh, ternyata sudah kedapatan melakukan tindakan kriminal lagi. Hedeehh. Ada lagi nih cuy, di Surakarta misalnya, para warga justru mendapati semakin maraknya intensitas aksi kejahatan, bahkan sampai menggalakkan ronda setiap malam loh.
Yah, kalau ini sih, di tengah pandemi tidak berusaha menciptakan kondisi sosial yang stabil malah bisa dikatakan sebaliknya ya, cuy, alias merangsang munculnya instabilitas keamanan. Sebenarnya sih, kalau mimin tidak terlalu menyoroti dampak secara langsung, justru dalam kondisi seperti itu harus dilihat akar penyebabnya gaes. Adapun jawabannya itu semua disebabkan oleh program asimilasi narapidana.
Kalau menurut salah satu pelapor yang mewakili sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) ke Pengadilan Negeri (PN) sih begini, cuy. Sebenarnya, sebagian besar yang menimbulkan keresahan saat ini adalah para napi yang mendapatkan asimilasi. Bahkan, Kapolda Metro Jaya juga menyebut bahwa angka kejahatan naik 10% sejak diterapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Kalau dilihat dari hal di atas, coba kita nilai kenapa kok kebijakan Pak Yasonna bikin geger? Ya, jawabnya tentu karena kebijakan ini tidak tepat kondisi dan waktu, cuy. Ibaratnya nih, kebijakan Menteri Yasonna malah membuat jebakan batman untuk masyarakat. Hadehh. Sudah dua periode, masa masih abal-abal dalam membuat kebijakan? Upsss.
Kita doakan saja ya gengs, semoga presiden tetap sehat dan kuat menghadapi pola kinerja menterinya yang seperti ini. Hehehe. (F46)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.