“Terbuka kemungkinan. Kalau PKB sama NasDem sekarang itu kan teman koalisi di pemerintahan. Kalau koalisi di dalam pemerintahan Jokowi-Ma’ruf, NasDem dengan PKB itu sudah lebih lama berkoalisi dibandingkan dengan Gerindra,” – Jazilul Fawaid, Wakil Ketua Umum (Waketum) Bidang Pemenangan Pemilu (Bapilu) PKB
Siapa bilang memilih lebih mudah dibandingkan menjadi orang yang dipilih? Dilema dari realitas sehari-hari ini juga terwujud dalam situasi politik, tepatnya saat seorang elite politik mempertimbangkan siapa duet yang paling memungkinkan baginya.
Pernyataan di atas tersirat pada pesan yang disampaikan Wakil Ketua Umum Bidang Pemenangan Pemilu DPP PKB Jazilul Fawaid yang mengatakan PKB membuka peluang koalisi dengan Partai NasDem.
Sedikit memberikan konteks, saat ini PKB berkoalisi dengan Partai Gerindra dalam Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KIR). Meski kuat dugaan Ketua Umum (Ketum) Gerindra Prabowo Subianto akan dicalonkan menjadi calon presiden (capres), KIR secara resmi belum merilis hal tersebut.
Hal itu yang membuat kalau koalisi kedua partai ini masih tergolong cair. Sementara, NasDem sudah lebih dulu mengusung Anies Baswedan sebagai capres partai yang dipimpin Surya Paloh itu.
Dengan adanya kemungkinan koalisi PKB dengan NasDem, terlihat ada upaya untuk duetkan calon mereka masing-masing, yakni antara Anies dengan Ketum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin).
Wow, jadi menarik nih akrobat para elite politik. Layaknya sebuah hukum marketing, Cak Imin tidak ingin mengambil risiko jika belum ada kepastian yang jelas dari KIR bersama Gerindra. Untuk itu, NasDem bisa jadi opsi alternatif.
Fenomena semacam ini dijelaskan Jennifer Lees-Marshment dalam bukunya Political Marketing: A Comparative Perspective memberikan gambaran bahwa logika marketing menjadi napas dari sebuah strategi sampai keputusan politik seorang kandidat.
Political marketing tidak hanya terbatas pada bagaimana menjual produk/gagasan saja. Lebih dari itu, pemasaran politik dengan logika pasar dapat menjadi kompas untuk kandidat dapat memenangkan persaingan.
Nah, dari kompas itu kandidat mencoba menghitung peluang-peluang mana yang paling memungkinkan untuk dijalani. Meski terkesan pragmatis, tapi hal semacam itu dianggap normal dalam politik.
J. S. Maloy dalam tulisannya Elite Theory mengutip pernyataan ekonom Joseph Alois Schumpeter dalam menguraikan bahwa perilaku elite politik cenderung pada pilihan rasional.
Pilihan rasional yang dimaksud adalah kecenderungan untuk memilih sesuatu yang dilatarbelakangi dengan pertimbangan ekonomi seperti untung-rugi – menjawab pertanyaan, “jika saya kerjakan itu, apa untungnya buat saya?”
Dari pendekatan semacam itulah, kita dapat mendapatkan jawaban dari sikap Cak Imin – atau setidaknya sikap PKB untuk mendekati NasDem. Terbaca seolah ada upaya untuk membuat “escape plan”.
Mungkin ini, semacam rencana untuk menyelamatkan diri dikarenakan perhitungan rasional para elite yang dirasa paling memungkinkan untuk dilakukan. NasDem mungkin menjadi alternatif, tentu dengan alasan yang sudah dijelaskan, yaitu PKB dan NasDem sudah lama dekat karena merupakan koalisi pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Hmm, ngomongin rencana penyelamatan jadi ingat film bergenre thriller dengan judul yang sama, yaitu Escape Plan (2013). Film ini cukup bertabur bintang ternama, seperti Sylvester Stallone, Arnold Schwarzenegger, 50 Cent, Dave Bautista, dan Jaime King.
Film besutan Miles Chapman bersama dengan John Herzfeld ini berkisah tentang upaya sekelompok orang yang mencari cara untuk bisa keluar dari penjara dan pengintaian musuh mereka.
Well, jika film ini kita kontekstualisasikan ke fenomena Cak Imin yang sedang membuat “escape plan” hadapi Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Muncul pertanyaan, apakah mendekati NasDem bisa begitu saja diterima oleh Demokrat dan PKS? Upppsss. (I76)