Dalam akun Instagram @cakiminnow, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin sempat mengunggah kaos bertuliskan “Warga NU Kultural Wajib ber-PKB, Struktural, Sakarepmu!”. Apakah Cak Imin sedang berusaha membelah dua warga Nahdlatul Ulama?
Dalam artikel PinterPolitik yang berjudul Apakah NU Penentu Pilpres?, telah dijabarkan bahwa warga Nahdlatul Ulama (NU) sejatinya terbagi dua, yakni NU kultural dan NU struktural. Pembagian ini didasarkan pada pernyataan Mahfud MD dalam acara Indonesia Lawyers Club (ILC) pada 14 Agustus 2018.
Dalam kesempatan itu, Mahfud memberi kesaksian setelah batal dipilih sebagai pendamping Joko Widodo (Jokowi) di Pilpres 2019 karena disebut bukan kader NU. Menurut Mahfud, yang disebut kader NU adalah mereka yang ikut kepengurusan dari ranting, cabang, dan seterusnya. Menurutnya, kelompok ini jumlahnya mungkin tidak mencapai 1 juta orang.
Pernyataan itu kemudian melahirkan dikotomi antara NU kultural dan NU struktural. NU kultural adalah mereka yang mengikuti ajaran NU, jumlahnya sangat banyak, disebut mencapai puluhan hingga ratusan juta jiwa. Sementara NU struktural adalah mereka yang mengikuti kepengurusan formal seperti yang disebutkan Mahfud.
Nah, pembagian tersebut tampaknya yang tengah dilakukan oleh Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin. Dalam akun Instagram @cakiminnow, Cak Imin sempat mengunggah kaos bertuliskan “Warga NU Kultural Wajib ber-PKB, Struktural, Sakarepmu!”.
Melihat konteks saat ini, besar kemungkinan diksi struktural ditujukan kepada Pengurus Besar NU (PBNU) yang merupakan lembaga formal. Seperti yang diketahui, setelah Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya) terpilih sebagai Ketua Umum PBNU, hubungan PKB dengan PBNU berjalan tidak harmonis.
Untuk mengamankan dukungan warga NU terhadap PKB, Cak Imin sepertinya melakukan strategi dua arah. Di satu arah menciptakan dikotomi antara NU kultural dan NU struktural, sementara di arah lain ingin menciptakan label terhadap NU struktural.
NU kultural yang jumlahnya jauh lebih banyak ingin diamankan oleh Cak Imin. Sedangkan NU struktural atau kita sebut saja PBNU, jumlahnya jauh lebih sedikit dan ingin dilabeli secara peyoratif. Ini terlihat dari pemilihan diksi “sakarepmu” alias “terserahmu” yang digunakan.
Jika benar Cak Imin sedang melakukan strategi dua arah tersebut, maka dapat dikatakan ini adalah strategi yang jitu. Pasalnya, warga NU di daerah lebih mendengar para kiainya masing-masing daripada arahan kepengurusan pusat.
Dengan demikian, untuk mendekati warga NU, caranya bukan dengan mendekati PBNU, melainkan kiai-kiai NU di daerah yang memiliki santri dan menjadi tetua di tengah masyarakat. Target seharusnya adalah NU kultural. (R53)