“Whole neighborhood buzzin’” – 2Pac, penyanyi rap asal Amerika Serikat
PinterPolitik.com
Masa pemerintahan kedua Joko Widodo (Jokowi) memang baru dimulai pada Oktober 2019 lalu. Namun, tampaknya, Pak Jokowi kini ingin segera memberi gebrakan-gebrakan baru terkait kebijakan ekonomi dan investasi.
Salah satu gebrakan yang dianggap penting adalah Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja (Ciptaker atau Cilaka). Dengan RUU yang menjadi bagian dari rangkaian omnibus law ini, investasi diharapkan dapat melaju lebih kencang di Indonesia.
Tapi nih, ternyata, keinginan Pak Jokowi untuk menuntaskan RUU ini dalam 100 hari tampaknya harus menemui tantangannya. Pasalnya, beberapa elemen masyarakat – seperti buruh dan mahasiswa – menilai RUU omnibus law itu justru banyak merugikan.
Bagaimana nggak? Beberapa aturan yang terkandung dalam draf RUU tersebut menyebutkan bahwa pemerintah bisa melangkahi prosedur konstitusional dengan mengubah ketentuan Undang-Undang (UU) melalui Peraturan Pemerintah (PP).
Belum lagi, banyak juga aturan yang membuat hak dan perlindungan buruh semakin berkurang. Pasal 89 misalnya, banyak merubah ketentuan ketenagakerjaan yang telah berlaku sebelumnya, seperti penentuan upah minimum, penghapusan ketentuan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), dan penghapusan upah minimum nasional.
Alhasil, banyak tuh terjadi aksi protes di beberapa wilayah, seperti Jakarta dan Yogyakarta. Salah satunya adalah aksi #GejayanMemanggilLagi yang dilakukan oleh mahasiswa dan kelompok buruh di Gejayan, Sleman, DI Yogyakarta.
Hmm, jadi ingat dengan gelombang protes yang pernah terjadi pada September 2019 lalu nih. Kalau nggak salah, kala itu, Gejayan juga terkenal lho sebagai salah satu tonggak awal dari gelombang demonstrasi yang menentang revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), dan beberapa RUU lain itu.
Eh, tapi, nggak cuma mahasiswanya aja lho yang ngebikin demo omnibus law ini mirip dengan demo September 2019. Kali ini, juga ada tuh pegiat-pegiat media sosial yang biasa disebut dengan buzzer.
Kalau dulu ada banyak yang bilang kalau demo mahasiswa ditunggangi oleh penumpang gelap, kini demo omnibus law juga dituding memiliki kepentingan tertentu untuk memperkeruh suasana tuh. “Apakah betul #GejayanGerakanProvokasi?” cuit akun @kangdede78.
Apalagi nih, ada beberapa dugaan kalau akun-akun pegiat medsos tersebut mendapatkan anggaran dari pemerintah lho. Waduh.
Ya, terlepas dari itu benar atau nggak, kok sepertinya para buzzer ini sering muncul ya di kala-kala tertentu? Masa – dari soal revisi UU KPK dan RKUHP, isu virus Corona, hingga omnibus law – pemerintah jadi selalu mengandalkan buzzer gini?
Padahal, kan, banyak anggaran yang didapatkan oleh pemerintah itu berasal dari masyarakat sendiri. Masa uang rakyat dipakai buat menutupi “keburukan” dari rakyat? (A43)
► Ingin lihat video-video menarik? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.