“Ini menjadi pesan bahwa tidak ada utang lagi dari Mbak Veronica Koman ke Kementerian Keuangan”. – Suarbudaya Rahadian, Juru Bicara Jaringan Masyarakat Sipil
Sosok Veronica Koman kini menjelma sebagai salah satu sentral dalam perjuangan masyarakat Papua. Ia memang bukan warga asli Papua, tidak pula lahir dan besar di Papua. Tapi, jika bicara tentang konflik di Bumi Cendrawasih, jangan sampai anda mendebat Vero.
Well, berdasarkan kumpulan informasi yang beredar di media, Vero yang merupakan lulusan jurusan Hukum Internasional tentu punya lebih dari sekedar argumentasi biasa. Ia juga jago berdebat dan pernah bergabung dalam Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.
Sebelum terkenal lewat kasus Papua, nama Vero memang sudah sering muncul lewat aksi-aksinya membantu banyak orang, misalnya para pencari suaka dari negara-negara seperti Iran dan Afghanistan. Ia juga dikenal kerap memberi bantuan hukum secara cuma-cuma bagi orang-orang yang tak mampu dan yang tak paham hukum.
Ia juga bersama LBH Jakarta pernah melayangkan desakan bagi Kementerian Dalam Negeri untuk membatalkan pelaksanaan Qanun Jinayat alias hukum cambuk dan sejenisnya yang diterapkan di Aceh karena dianggap bertentangan dengan konstitusi.
Semua kiprahnya itu sudah lebih dari cukup untuk sampai pada kesimpulan: “You won’t take an easy way dealing with Veronica Koman”.
Sayangnya, cara pemerintah menangani kasus Veronica Koman ini justru cenderung kontraproduktif. Buat yang belum tahu, Vero muncul sebagai salah satu tokoh sentral ketika kasus penyerangan terjadi di asrama Papua di Surabaya beberapa waktu lalu.
Ia dituduh melakukan provokasi dan penyebaran informasi bohong dalam insiden tersebut yang menyebabkan namanya masuk dalam daftar pencarian orang (DPO) dan dikenakan status sebagai tersangka. Beh, nggak kira-kira cuy tuduhannya.
Nah, kemudian, pemerintah juga “mengkerasi” dirinya dengan memintanya mengembalikan uang beasiswa yang ia peroleh dari Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) – badan di bawah Kementerian Keuangan yang biasa memberikan bantuan beasiswa. Nggak tanggung-tanggung, jumlahnya mencapai Rp 773 juta.
Namun, “utang” Vero ini disebut-sebut akan dibayarkan kembali oleh Tim Solidaritas Rakyat Papua.
Beh, ini mah udah salah langkah jauh nih dari kebijakan “membayar kembali” utang beasiswa itu. Pasalnya, ini bisa memicu solidaritas yang lebih kuat di antara masyarakat Papua, terutama yang kerap berseberangan dengan pemerintah. Masyarakat Papua tentu akan melihat ini sebagai bentuk “kekerasan” lain yang dilakukan oleh pemerintah terhadap orang-orang yang peduli terhadap nasib mereka – let’s say jika bicara tentang pelanggaran HAM yang terjadi di sana dan kasus-kasus sejenisnya.
Analoginya kayak “melawan batu dengan batu atau besi dengan besi”. Yang ada adalah saling menghancurkan.
Memang sih banyak tuduhan yang menyebut Vero telah menjadi perpanjangan “tangan asing” dalam konflik Papua. Asing di sini maksudnya adalah negara luar ya, soalnya Vero pernah berkuliah di Australia. Namun, seharusnya bukan berarti hal ini mengubah pola pendekatan pemerintah dalam penyelesaian kasus ini.
Sebab mengkerasi Vero akan kontraproduktif dengan upaya Presiden Jokowi yang menggunakan pendekatan pembangunan yang cenderung soft dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada di Papua.
Hmm, kebayang nggak tuh jika gara-gara kasus Veronica Koman, orang-orang Papua jadi tambah “benci” terhadap pemerintah. Kan suatu saat akan menjadi ledakan emosi yang besar dan tak terbendung. (S13)