“Kalau ini dibiarkan akan berakibat negatif terhadap institusi penyelenggara pemilu, trust terhadap penyelenggara pemilu, dan, tadi, soal legitimasi pemilu 2024” – Fadli Ramadhanil, Manager Program Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)
Saat ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mendapat atensi yang cukup besar dari berbagai pihak. Hal ini terkait dugaan intimidasi KPU pusat kepada KPU Daerah (KPUD) terhadap rangkaian proses Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Beredar di beberapa pemberitaan, seorang komisioner KPUD menceritakan adanya instruksi Komisioner KPU Idham Holik untuk meloloskan Partai Gelora, Partai Kebangkitan Nusantara (PKN), dan Partai Garuda sebagai peserta Pemilu 2024.
Idham diklaim sempat mengancam akan mengirim semua petugas KPUD kabupaten/kota ke rumah sakit jika tidak melaksanakan instruksi komisioner tingkat provinsi.
Merespons rumor tersebut, Idham membantah tuduhan itu dan mengatakan arahan tersebut disampaikan dalam konteks pelaksanaan Surat Edaran (SE) yang dikeluarkan KPU khususnya soal verifikasi faktual partai peserta Pemilu 2024.
Arahan ini dirasa penting karena dianggap ada beberapa KPU tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang belum mengikuti arahan SE.
Anyway, persoalan ini tidak berhenti sampai di situ loh. Dengan agak serius, Manager Program Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil mengatakan bahwa isu intimidasi ini akan berdampak pada tingkat kepercayaan publik terhadap KPU selaku penyelenggara pemilu.
Sedikit memberikan konteks, integritas menjadi nilai yang penting bagi lembaga-lembaga ad-hoc. Hal ini juga yang mempengaruhi eksistensi dari lembaga-lembaga semacam itu.
Subando Agus Margono dalam bukunya Birokrasi, Demokrasi dan Reformasi: Sudut Pandang Administrasi Negara menjelaskan bahwa integritas KPU berhubungan erat dengan independensi. KPU sebagai lembaga yang independen haruslah bersih dari segala bentuk kepentingan yang dapat mencederai demokrasi di Pilkada
Jika merujuk pada hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) 2022 yang diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), skor KPU pada SPI 2022 sebesar 73,24. Sementara, untuk skor SPI 2022 untuk Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebesar 78,14. Terdapat selisih 4,9 poin, tampak skor integritas KPU lebih rendah dibanding Bawaslu.
Data di atas tidak bisa dilihat hanya sekedar angka dan selisih penilaian. Melalui penilaian yang terukur, integritas sebuah penyelenggara begitu penting dalam sistem demokrasi elektoral. Semakin berintegritas, semakin besar legitimasi KPU yang terbangun.
Hal ini sejalan dalam studi ke–pemilu–an yang sering digunakan oleh observer pemilu dan ilmuwan politik – salah satunya oleh Pippa Norris dalam bukunya Why Electoral Integrity Matters.
Norris mencoba mengurai seperti apa praktik kecurangan Pemilu yang asal mulanya dimulai dari perkara pemilu (electoral dispute) yang kemudian menjadi bagian dari lingkaran tahapan pemilu (election circle phase).
Kecurangan Pemilu merupakan salah satu bagian penting dalam menguji integritas pemilu (electoral integrity) dan pelaksanaan pemilu yang jujur dan berkeadilan.
Banyak istilah lain yang digunakan untuk menguji integritas pemilu dalam banyak isu, seperti malpraktek pemilu (electoral malpractice), cacat pemilu (flawed election), kesalahan pemilu (misconduct), manipulasi pemilu (electoral manipulation), dan kecurangan pemilu (rigged/stolen elections).
Bayangkan, dari sekian banyak isu terkait permasalahan pemilu, pada akhirnya akan berakhir pada persoalan integritas penyelenggara pemilu. Nah, jika penyelenggara saja integritasnya sudah mulai diragukan, maka rentan para peserta untuk pertanyakan hasil keputusan.
By the way, menyoal integritas dan kecurangan jadi ingat film Bad Genius (2017) karya sutradara Nattawut Poonpiriya. Film asal Thailand ini menceritakan tentang perjuangan anak-anak sekolah yang melakukan kecurangan demi bisa tembus kuliah di kampus favorit.
Film ini berangkat dari kebobrokan sistem pendidikan yang ada di Thailand dan sebagian besar negara berkembang. Jika sistem telah “gembos” integritasnya, maka semua peserta juga akan mengikuti cara main sebuah sistem.
Nah, misalkan kita ilustrasikan KPU sebagai panitia seleksi kampus favorit, maka calon mahasiswanya tentunya partai politik (parpol) dong. Hmm, jadi curiga. Jangan-jangan integritasnya bukan “gembos” tapi “digembosi”. Mungkin nggak tuh, guys? Hehehe. (I76)