Ketua Umum (Ketum) Dewan Masjid Indonesia (DMI) Jusuf Kalla akhirnya memecat Ketua Departemen Ekonomi DMI Arief Rosyid dari kepengurusannya. Kabarnya, pemecatan ini terjadi akibat upaya pemalsuan tanda tangan JK yang dilakukan oleh Arief.
Bagaimana caranya membedakan yang asli dan palsu? Pertanyaan ini terkadang menjadi sulit untuk dijawab. Bagaimana tidak? Tidak jarang alat indra manusia mudah tertipu dengan ilusi yang menutupi kenyataan yang ada di baliknya.
Mungkin, keterbatasan mata manusia inilah yang akhirnya menginspirasi Maurice Leblanc mengarang salah satu karakter fiktif yang sangat dikenal dalam sebuah cerita pendek di majalah Je sais tout (1905), yakni seorang pencuri yang sangat mahir bernama Arsène Lupin. Dengan segala muslihat yang dimilikinya, Lupin mampu menyamar dan menjalankan aksi-aksinya.
Bukan hanya Lupin, berbagai cara tipu daya terhadap alat indra manusia – seperti mata – juga tercatat dalam banyak kesenian lainnya. Sebut saja sulap yang kerap menggunakan ilusi mata untuk menipu para penontonnya.
Sampai-sampai, tipu daya ala sulap ini menginspirasi sebuah seri film yang berjudul Now You See Me (2013). Mungkin, bagi mereka yang pernah menonton film karya Louis Leterrier ini, berbagai aksi untuk bermain dengan ilusi ini sangat ditampilkan secara memukau.
Namun, bagaimana bila ilusi-ilusi mata ini gagal? Akankah aksi tipu-menipu tersebut bakal tetap terlihat memukau?
Boleh jadi, ketika sebuah ilusi dan tipuan berujung gagal, rasa malu dan tragedi yang mengikutinya akan muncul. Perasaan-perasaan ini akan muncul ketika mereka yang kurang mahir mencobanya.
Dalam kehidupan sehari-hari, tidak jarang ilusi yang kita sengaja malah berujung gagal. Saat kita berusaha memalsukan tanda tangan teman kita sendiri saat dia berhalangan hadir dalam sebuah kelas – alias titip absen (TA), tentu saja persoalan kedisiplinan akan mengikuti.
Mungkin, hanya orang tertentu saja yang benar-benar bisa membuat tanda tangan palsu. Ada yang bilang ini semacam keahlian yang membutuhkan jam terbang yang cukup.
Lagipula, tanda tangan merupakan salah satu hal yang bersifat unik – hanya benar-benar dapat dibuat secara sempurna oleh si pemilik tanda tangan itu sendiri. Maka dari itu, tanda tangan juga digunakan secara hukum untuk menentukan keabsahan sebuah dokumen.
Bayangkan saja apabila Soekarno dan Moh. Hatta melakukan TA saat menandatangani Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) pada Agustus 1945 silam. Bisa-bisa, kemerdekaan negara ini dibilang tidak sah di kemudian hari.
Bila membahas soal pemalsuan tanda tangan seperti ini, ada peristiwa serupa yang baru terjadi di negeri kita tercinta ini. Kabarnya, tanda tangan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla (JK) dipalsukan oleh Arief Rosyid yang menjabat sebagai Ketua Departemen Ekonomi Dewan Masjid Indonesia (DMI).
Arief yang akhirnya dipecat dari kepengurusan DMI itu disebut memalsukan tanda tangan JK selaku Ketua Umum (Ketum) DMI dan Sekjen DMI Imam Addaruqutuni. Tanda tangan yang tidak berasal dari JK dan Imam langsung itu dibubuhkan di atas sebuah surat undangan yang ditujukan kepada Wapres K.H. Ma’ruf Amin untuk menghadiri kegiatan Festival Ramadhan.
Namun, ketika Kantor Wapres mengonfirmasi kembali undangan itu, JK pun terkejut. Alhasil, DMI pun memutuskan untuk memecat Arief.
Mungkin, Arief perlu belajar lebih banyak lagi mengenai bagaimana menciptakan “ilusi” tanda tangan yang lebih baik lagi dari Joseph Cosey (1887-1950) – orang Amerika Serikat (AS) yang dikenal sangat ahli dalam meniru tanda tangan para presiden negara Paman Sam.
Lagipula, ini semua kembali ke pertanyaan soal integritas dan kejujuran. Bayangkan apa yang terjadi pada peristiwa-peristiwa penting seperti Proklamasi Kemerdekaan apabila tanda tangan yang krusial itu ternyata palsu. (A43)