“Kang Emil kan juga numpang populer, sama saja dengan Baim Wong yang melihat peluang dari Citayam Fashion Week,” – Jazilul Fawaid, Waketum PKB
Seolah tidak ada habisnya, fenomena Citayam Fashion Week yang sering disingkat CFW penuh dengan drama. Paling baru, Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil yang akrab disapa Kang Emil menyentil Baim Wong terkait pendaftaran CFW ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) sebagai sebuah hak brand.
Kang Emil meminta agar Baim segera mencabut pendaftaran CFW, karena merasa fenomena itu merupakan gerakan organik yang tumbuh secara natural dan tidak perlu dikomersilkan. Menurut Kang Emil, komersialisasi hanya akan menghambat kreativitas fashion jalanan ini.
Sontak perseteruan Kang Emil dan Baim ini direspons oleh beberapa pihak, mulai dari politisi hingga fans “garis keras” Baim.
Seperti yang telah diberitakan, Wakil Ketua Umum (Waketum) PKB Jazilul Fawaid seolah membela Baim, dengan mengatakan bahwa sebenarnya Kang Emil sama saja seperti Baim, karena mereka melihat dan menggunakan peluang dari fenomena CFW.
Ada pula kritik dari akun fans Baim yang bertanya kenapa Kang Emil harus gembar gembor di media. Fans ini menganjurkan agar bisa dilakukan melalui japri atau komunikasi personal secara langsung.
Menjawab pernyataan fans Baim, Kang Emil mengungkap bahwa ia sengaja menghimbau Baim di ranah publik agar jadi pelajaran untuk yang lainnya – peristiwa serupa mungkin terjadi di masa depan. Hmm, mungkin agar ada efek jera kali ya?
Akhirnya, perang digital di Instagram pun dimulai. Hal ini dilihat dari 47 ribu pengguna yang mendukung yang menyukai argumen Kang Emil. Sedangkan komentar akun fans Baim mendapatkan empat ribuan tanda disukai. Lumayan lah ya.
Perselisihan ini memberikan kita pelajaran bahwa silang pendapat seringkali melahirkan relativitas ukuran kebenaran. Karena kebenaran seringkali diukur dari jumlah argumentasi disukai bukan berdasarkan atas logika maupun nilai etik dari argumentasi.
Bahkan argumentasi lebih sering diukur melalui angka-angka. Dan dalam dunia digital, seringkali kebenaran itu diukur dari seberapa banyak argumentasi itu disukai oleh warganet yang kebetulan singgah dalam perang opini itu.
Sekilas jadi teringat dengan serial The Orville yang merupakan serial TV Amerika bergenre science-fiction, yang juga mengandung unsur petualangan, komedi dan drama. Pertama kali menonton serial ini, saya pikir film ini hanya berusaha memparodikan serial TV Star Trek, tapi ternyata saya salah.
Alkisah, dalam salah satu misinya, tanpa sengaja awak kapal The Orville menemukan sebuah planet yang isinya dipenuhi dengan manusia yang menggunakan sistem demokrasi yang ekstrem. Kenapa disebut ekstrem? Karena demokrasi diukur berdasarkan rasa suka dan tidak suka masyarakatnya terhadap seseorang.
Anyway, apa jadinya kalau di bumi ini keadilan hanya diukur dari rasa suka dan tidak terhadap seseorang? Jika anda tidak disukai oleh banyak orang, ya semacam dislike di kolom media sosial, maka anda akan diberikan hukuman yang berat dan akan diasingkan dari masyarakat.
Apa yang tampak dari perseteruan antara Kang Emil dan pendukung Baim di media sosial dan juga serial The Orville, sejatinya menampilkan celah dari demokrasi yang hanya bersandar pada kuantitas. Konsep ini yang kerap dinyatakan sebagai munculnya tirani oleh mayoritas – dominasi dan bahkan monopoli kekuatan politik.
Hmm, benar juga ya kata orang kalau medsos bisa merubah banyak hal. Bahkan bukan hanya perseteruan antara Kang Emil dan Baim saja yang ada di sana. Seringkali juga kisah dua sejoli punya cerita di medsos. Biasanya mereka mulai pertemuan di Twitter, jadian di Facebook, pacaran di Instagram, putus di WhatsApp. Aduh, itu pacaran apa olshop? Upss, Hehehe. (I76)