Media sosial (medsos) beberapa waktu lalu diramaikan oleh kabar perbuatan onar Ardhito Pramono di sebuah bar di Malang, Jawa Timur (Jatim). Bahkan, katanya, Ardhito mengaku sebagai anak dari Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung.
“Sira tan bisa amupus karsa” – Ardhito Pramono, “Wijayakusuma” (2022)
Potongan lirik di atas merupakan bagian dari lirik lagu berjudul “Wijayakusuma” dari album berjudul sama Wijayakusuma (2022) karya Ardhito Pramono. Lirik yang dinyanyikan oleh seorang sinden dalam Bahasa Jawa itu memiliki arti bahwa Anda tidak dapat menghapus keinginan Anda.
Mungkin, lirik ini juga bisa mendeskripsikan bagaimana perasaan Ardhito ketika marah-marah di sebuah bar di Malang, Jawa Timur (Jatim). Gimana nggak? Mas Ardhito ini kabarnya marah karena request-nya tidak diiyakan oleh DJ yang sedang bermain.
Uniknya lagi, luapan emosi ini ditunjukkan dengan begitu ekspresif – seperti dengan melempar gelas dan mengacungkan jari tengah. Tidak hanya itu, kabarnya, Ardhito juga disebut mengaku sebagai anak dari Sekretaris Kabinet (Seskab) Pramono Anung.
Waduh, baru tahu kalau ternyata nama “Pramono” itu karena dari nama Pramono Anung toh. Hmm, emang benar ya Ardhito adalah putra dari Pak Pram?
Tenang, guys. Ternyata, bukan kok. Namun, bila benar ada pengakuan semacam itu dari Ardhityo, pertanyaan lanjutan pun bisa jadi muncul. Mengapa nama pejabat dan elite politik begitu diagung-agungkan – bahkan sampai di hal-hal kecil layaknya pertengkaran di bar?
Penasaran kan? Penasaran nggak tuh? Nah, buat yang penasaran, tenang aja, guys. Bakal dijelasin pelan-pelan kok.
Nah, klaim-klaim atas koneksi dengan pejabat dan elite politik ini sebenarnya juga mengingatkan kita dengan kasus pemukulan David Ozora oleh Mario Dandy yang sempat viral beberapa bulan lalu.
Mengapa dua hal ini berkaitan? Jawabannya adalah karena dua-duanya sama-sama berkaitan dengan elite. Seakan-akan, menjadi seorang elite adalah sebuah keuntungan besar karena mendapatkan hak-hak lebih dibandingkan orang biasa.
Mengacu ke tulisan PinterPolitik.com yang berjudul Kenapa Mario Berani Pukuli David?, dengan berdasar pada social dominance theory, dominasi sosial – seperti oleh kelompok elite – turut mempengaruhi psikologi sosial tentang hubungan antar-kelompok.
Nah, bukan nggak mungkin, ini akhirnya mempengaruhi psikologi sosial masyarakat Indonesia. Sejak dulu, kelompok elite di Indonesia memang dipersepsikan sebagai kelompok yang lebih berkuasa dan lebih “mulia”.
Inilah mengapa koneksi ke pejabat atau elite menjadi salah satu jalan keluar yang paling mudah ketika terjebak dalam sebuah masalah – seperti pertengkaran. Seakan-akan, kita punya backing-an gitu, guys. Ya nggak tuh?
Ya, terlepas dari persoalan apapun yang tengah dilalui oleh Mas Ardhito, pihak bar di Malang, hingga Pak Pram sendiri (kalau emang iya berkaitan), persoalan dominasi sosial dan persepsi kuasa pada elite bisa jadi mengganggu jalannya supremasi hukum di Indonesia. This is one issue yang harus jadi concern bersama bagi masyarakat dan negara kita. (A43)