“Coba tanyakan kepada Pak Anies, itu video asli atau bukan atau hoaks atau asli. Kira-kira seperti itu, tapi politisi pemimpin yang dipegang omongan,” – Ahmad Muzani, Sekjen Partai Gerindra
Sebagian orang menilai cinta hanyalah urusan emosi semata, bahkan sering terlontar ucapan, “cinta tak ada logika.” Apakah benar bahwa cinta hanya sebatas emosi dan tidak memiliki kaitan dengan logika?
Sepertinya terlalu mudah untuk mengakui pepatah di atas – bahwa cinta tak ada logika – karena pada praktiknya hubungan percintaan selalu dikalkulasi oleh untung rugi, yang mana itu merupakan cara logika bekerja.
Pengkhianatan adalah contoh konkretnya. Cinta yang tidak dibalas sesuai dengan harapan sering kali ditafsirkan sebagai pengkhianatan – hingga muncul ungkapan bahwa yang berat dalam cinta sebenarnya bukan pengorbanan, melainkan memaafkan pengkhianatan.
Nah, narasi pengkhianatan ini juga hadir loh dalam konteks politik di Indonesia. Terlihat saat Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani menanggapi video Anies Baswedan yang viral beredar di media sosial (medsos).
Dalam video itu, Anies menyatakan tidak akan mengkhianati Menteri Pertahanan sekaligus Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto pada Pemilihan Presiden (Pilpres).
Tentunya, ucapan Anies ini dianggap sebagai bentuk pengkhianatan karena terlihat kontras antara ucapannya dalam video – dengan sikap politiknya hari ini yang ingin mencalonkan diri pada Pilpres 2024 mendatang.
Lantas, apakah keputusan menjadi bakal calon presiden (capres) Anies ini dapat ditafsirkan sebagai pengkhianatan politik terhadap Prabowo?
Anyway, bukan hanya Anies loh yang seolah-olah “disindir sebagai “pengkhianat” politik. Sebelumnya, Sandiaga Uno juga diterpa isu yang sama ketika sejumlah pengurus PPP di berbagai daerah menyatakan dukungan terhadap Sandi.
Mereka mendorong Sandi untuk mencalonkan diri sebagai presiden pada Pilpres 2024.
Inilah penyebab panas-panas dalam tubuh Partai Gerindra. Sontak, beberapa kader partai menyatakan kritik kepada Sandi yang dianggap genit dan, jika terjadi, akan “dicap” sebagai pengkhianat.
Dalam konteks hubungan relasi politik, sekiranya hubungan antara Prabowo dan Anies dengan Prabowo dan Sandi tidaklah sama persis, meskipun Anies-Sandi merupakan duet yang pernah dimenangkan Prabowo pada Pilkada DKI Jakarta 2017 silam.
Sederhananya, jika Sandi yang akan mencalonkan diri, mungkin isu pengkhianatan dapat match. Namun, jika Anies yang jadi capres di 2024 nanti, mungkin agak berbeda karena dia bukan kader Partai Gerindra selayaknya Sandi.
Artinya, narasi pengkhianatan ini bisa jadi semacam strategi politik untuk mendapatkan simpati. Tentu, kita tahu kalau strategi playing victim atau bermain menjadi korban masih laku di “pasar” politik elektoral kita.
Alih-alih masuk dalam kategori pengkhianatan, sekiranya munculnya Anies yang akan bertarung dengan Prabowo dapat dilihat sebagai bentuk alamiah dari dinamika politik – yang mana di dalamnya sirkulasi elite pasti akan terjadi.
S. P. Varma dalam bukunya Teori Politik Modern menerjemahkan konsep circulation of elite atau sirkulasi elite dari Vilfredo Pareto sebagai peristiwa alamiah yang kompetitif – yang mana elite baru akan berkompetisi dengan elite lama meskipun kedua elite dulunya mempunyai kesamaan ikatan.
Hmm, kok skenario semacam ini seolah ingin menunjukkan semacam fenomena love-hate relationship ya? Jika kita cermati hubungan Anies dan Prabowo, kok mirip dengan lagu Naif yang berjudul “Air dan Api” dengan liriknya yang berbunyi:
Apa mauku? apa maumu?
Selalu saja menjadi
Satu masalah yang tak kunjung henti
Bukan maksudku, bukan maksudmu
Untuk selalu meributkan hal yang itu-itu saja
Mengapa kita saling membenci?
Awalnya kita selalu memberi
Well, layaknya sebuah hubungan percintaan yang dinamis, dalam politik ditemukan juga hal yang serupa – hingga muncul ungkapan yang bilang, “ Dalam politik tidak ada teman sejati, juga tidak lawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan.” Bener gak ya? Hehehe. (I76)