“Alhamdulillah, tujuh kabupaten (di Maluku) yang sudah terbentuk kepengurusan siap mendeklarasi Anies Presiden” – Sulaiman Wasahua, Ketua Relawan Sobat Anies Maluku
Manuver politik Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mulai mengarah ke Indonesia Timur, tepatnya di ibu kota provinsi Maluku, yaitu Kota Ambon.
Di kota Kapitan Pattimura itu, sekelompok orang yang tergabung dalam Relawan Sobat Anies Provinsi Maluku mendeklarasikan Anies sebagai calon presiden (capres) pada 2024 mendatang.
Oh iya, relawan Anies ini mengusung tema “Katong Pung Presiden 2024-2029 Anies Rasyid Baswedan”. Bagi yang belum tau, katong pung ini bermakna “punya kami”. Sebuah kalimat yang cukup bermakna bagi budaya Ambon yang terikat pada nilai-nilai persaudaraan.
Menurut pandangan Sulaiman Wasahua, Ketua Harian DPW Relawan Sobat Anies Provinsi Maluku, acara deklarasi ini sebagai sinyal bahwa Maluku juga punya semangat yang sama dengan relawan lain di luar sana untuk mendukung Anies sebagai capres.
Sulaiman bahkan berharap agar pimpinan partai politik di Maluku bisa meneruskan semangat ini kepada ketua umum partai politik di Jakarta agar memberikan rekomendasi Anies sebagai capres 2024.
Dalam perspektif kandidat, tentunya Anies punya kepentingan untuk merangkul masyarakat yang berada di Indonesia Timur. Tapi hal itu bukan pekerjaan mudah loh, apalagi untuk Ambon yang punya trauma terkait konflik horizontal yang diakibatkan perbedaan identitas.
Tentunya persoalan ini akan berisiko, jika dikaitkan dengan isu politik identitas yang pernah terjadi pada Pilkada 2017. Konflik antara Anies dengan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok seolah lagu lama yang selalu diputar kembali saat kontestasi yang menyertakan Anies di dalamnya.
Masih segar dalam ingatan kita, peristiwa deklarasi Majelis Sang Presiden yang mengaku sebagai eks anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), eks Front Pembela Islam (FPI), hingga mantan napi terorisme (napiter) yang mendukung Anies.
Banyak pihak melihat rangkaian peristiwa itu sebagai upaya kampanye hitam untuk mengaitkan Anies dengan organisasi terlarang dan dirancang untuk menjatuhkan sang DKI-1.
Artinya apa? Jangankan di daerah yang rentan konflik seperti Ambon, bahkan di Jakarta sendiri, politik identitas selalu dijadikan instrumen politik untuk mendiskreditkan popularitas Anies.
Secara kalkulasi politik, stigma tersebut tidak menguntungkan Anies sebagai salah satu capres. Dengan framing politik tersebut, tentu akan membatasi ruang gerak Anies untuk meraih dukungan yang lebih luas.
Bahkan, jika kita belajar dari pengalaman penggunaan politik identitas, maka kita akan setuju bahwa polarisasi berbasis politik identitas tidak kondusif bagi konflik sosial dan memerlukan waktu panjang untuk recovery sosial.
Anyway, realitas politik semacam ini bukan berarti Anies tidak punya peluang loh untuk menghindari framing politik identitas.
Anies mungkin butuh membuat semacam counter narasi. Semisal narasi sebagai cucu dari AR Baswedan yang merupakan pejuang Indonesia yang toleran kepada tiap golongan. Mungkin cara itu mampu menetralisir serangan framing yang ada.
Hmm, jika nantinya Anies mampu menaklukan Ambon, bisa jadi ini menjadi pintu gerbang untuk dapat menaklukkan Indonesia Timur loh.
Btw, jika relawan Ambon punya tagline “katong pung”, maka Anies juga punya tagline sendiri saat datang ke Ambon, yaitu “veni, vidi, vici”, yang artinya “saya datang, saya lihat, saya taklukkan”. Upss. Hehehe. (I76)