Mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memilih untuk mengawali tahun baru 2023 dengan menonton film dokumenter The Edge of Democracy (2019) di layanan streaming Netflix bersama putranya. Apakah ini semacam Netflix and chill ala Anies?
“No Netflix and chill, that’s dead” – Zara Larsson, “Girls Like” (2016)
Malam tahun baru 2023 kemarin memang menjadi momen yang meriah – ya setidaknya bagi sejumlah orang sih. Ada yang merayakan dengan turun ke jalan (baca: bukan demonstrasi) di kegiatan car free night – meski akhirnya berakhir hujan di sejumlah kota/kabupaten.
Ada juga yang berpesta (party) di bar atau klub. Mungkin, mereka yang memilih perayaan ini adalah mereka yang suka dengan gemerlap malam dan menghabiskan waktu bersama teman-teman mereka.
Ada juga yang memutuskan untuk bersantai di hotel sembari menikmati staycation (menginap di hotel tanpa keluar kota). Ini mungkin menjadi pilihan yang tepat bagi mereka yang tidak punya waktu untuk pergi berlibur keluar kota.
Dan, ada juga yang memutuskan untuk beristirahat di rumah masing-masing sambil mengisi waktu luang – misal dengan melaksanakan sebuah kegiatan Netflix and chill (baik makna harfiah atau perumpamaan) atau dengan mengadakan kegiatan makan bersama keluarga dan orang-orang terdekat.
Nah, perayaan momen tahun baru semacam ini juga dilakukan oleh para pejabat dan politisi. Salah satunya adalah mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan – yang mana memilih untuk memulai tahun baru 2023 dengan bersantai di rumah dengan putranya, Mikail Baswedan.
Diunggah di akun Instagram miliknya, Anies terlihat tengah menonton sebuah film dokumenter di layanan streaming film dan serial bernama Netflix. Judul film tersebut adalah The Edge of Democracy (2019) karya sineas asal Brasil bernama Petra Costa.
Di caption unggahan tersebut, Anies memberikan sedikit spoiler atas tema utama film tersebut, yakni mengenai erosi demokrasi yang terjadi di Brasil. Melalui kisah perjalanan politik Presiden Brasil Lula da Silva, Costa – menurut Anies – menyajikan bagaimana perubahan demokrasi di negaranya akhirnya memunculkan tokoh-tokoh populis semacam Presiden Brasil Jair Bolsonaro.
Di luar tema utamanya, Anies juga mengungkit bagaimana “cara-cara” tertentu dilakukan oleh sejumlah pihak untuk merusak demokrasi – mulai dari dengan cara menguasai wasitnya, menyingkirkan pemain lawan, dan mengganti aturan mainnya. Tiga tahap inilah yang membawa sebuah negara mengalami erosi demokrasi.
Hmm, kalau dibaca dari tiga tahap itu, mungkinkah beberapa di antaranya mulai terjadi di Indonesia? Hehe. Who knows, kan? Mungkin, jawabannya sih kembali ke interpretasi masing-masing ya.
Yang jelas, film sendiri memang menjadi sebuah medium ekspresi – termasuk ekspresi politik. Mengacu pada penjelasan Douglas Kellner dalam tulisannya yang berjudul Film, Politics, and Ideology, pesan-pesan ideologi memang dapat berbentuk diskursus, konsep, angka, hingga gambar – yang mana juga termasuk film.
Bukan nggak mungkin, melalui narasi dan gambar soal film yang ditonton, Pak Anies juga ingin menyampaikan pesan-pesan politik di dalamnya. Bisa jadi, Pak Anies ingin menyampaikan pandangan dan ideologi politiknya mengenai demokrasi – termasuk soal kondisi demokrasi Indonesia yang dinilai banyak pihak mulai mengalami banyak kemunduran.
Hmm, apakah mungkin secara tersirat Pak Anies ingin menyampaikan bahwa erosi demokrasi ini juga tengah terjadi di Indonesia, negeri kita tercinta ini? Apakah ini maksudnya Pak Anies secara implisit ingin instill (menanamkan) bahwa dirinya akan menjadi “pahlawan” yang membendung erosi tersebut – misalnya di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024? Who knows, kan? Hehe. (A43)