“Perubahan nama Rumah Sakit menjadi Rumah Sehat, dilakukan agar Rumah Sakit ikut ambil peran dalam pencegahan penyakit, sekaligus mempromosikan hidup sehat.” – Anies Baswedan, Gubernur DKI Jakarta
Baru-baru ini viral perubahan nama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) menjadi Rumah Sehat untuk Jakarta, yang dicanangkan oleh Pemerintahan DKI melalui Gubernur Anies Baswedan. Dalam waktu singkat, tercatat 31 RSUD yang telah berganti nama sesuai perintah Gubernur.
Dalam sebuah kesempatan, Anies mengatakan penjenamaan dilakukan agar rumah sakit tidak lagi sebagai tempat orang sakit. Ia berharap pola pikir masyarakat dapat berubah dengan pemakaian istilah Rumah Sehat untuk Jakarta.
Selain itu, Gubernur yang namanya diwacanakan menjadi kandidat calon presiden (capres) 2024 ini, mengatakan bahwa branding Rumah Sehat untuk Jakarta sebenarnya telah dibahas sejak 2019, tapi baru bisa dicanangkan saat pandemi mulai mereda.
Bukan namanya Anies, jika kebijakan yang dibuatnya itu tidak menjadi polemik. Sebaggai contoh, dalam beberapa pemberitaan, muncul penilaian tentang strategi rebranding yang dianggap bukanlah hal substantif untuk mendorong warga hidup lebih sehat.
Ketua Ikatan Ekonom Kesehatan Indonesia Hasbullah Thabrany menilai, untuk mendorong warga hidup lebih sehat tidak bisa hanya dengan rebranding rumah sakit. Ia menganjurkan agar pemerintah DKI melakukan langkah nyata yang agresif.
Semisal, mengimplementasikan lebih ketat Kawasan Tanpa Rokok guna meminimalisasi munculnya perokok aktif. Mungkin juga bisa mensosialisasikan hidup sehat saat Hari Bebas Kendaraan Bermotor (HBKB) atau Car Free Day (CFD) yang digelar setiap akhir pekan.
Sedikit memberikan konteks, Rumah Sakit menjadi Rumah Sehat bukanlah kebijakan pertama Anies dalam merubah nama fasilitas umum (fasum) di Jakarta. Anies juga pernah mengubah nama Stadion BMW menjadi Jakarta International Stadium (JIS), lalu pernah juga mengganti istilah normalisasi sungai menjadi naturalisasi.
Bahkan yang sempat heboh, yaitu ketika Anies meresmikan penggantian nama 22 jalan yang berubah sesuai nama tokoh Betawi. Tahun ini, istilah hari ulang tahun (HUT) pun diubah Anies dengan “Hajatan”, yang menurutnya lebih menggambarkan identitas Betawi. Lagi-lagi, identitas Betawi jadi alasannya. Upss.
Jika diamati serius, mungkin apa yang dilakukan Anies ini dapat diduga sebagai bagian dari strategi politik Anies untuk menghadapi pencalonan dirinya pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang.
Anies terkesan centil mengganti nama fasum yang sudah dianggap mapan dalam benak publik. Mengganti nama Rumah Sakit dengan Rumah Sehat, akan membuat publik berpikir, “bener juga ya?”. Kecentilan ini mirip dengan prinsip dekonstruksi kebenaran ala filsuf Prancis Jacques Derrida.
Melalui teori dekonstruksi, Derrida melihat bahwa teks tidak lagi sebagai tatanan yang utuh, melainkan arena pergulatan yang terbuka. Dengan kata lain, dengan dekonstruksi ini kita dapat mengkritik anggapan yang telah mapan tentang suatu tafsir.
Dekonstruksi hanyalah strategi pertama. Masih ada strategi kedua, yaitu mengambil keuntungan dari backfire effect, yaitu kritik terhadap kebijakan Anies. Strategi ini diharapkan berdampak kepada para pendukung fanatik Anies untuk berkata, “kan betul, apa saja yang dilakukan Anies pasti dikritik”.
Hmm, bisa jadi kemungkinan lain yang dapat menjawab kenapa Anies sering ganti nama tidaklah serumit penjelasan strategi politik di atas. Maksudnya apa? Bisa saja Anies ganti nama itu karena terinspirasi dari Soekarno.
Dalam cerita lain yang jarang di-publish, rupanya pergantian nama Soekarno dari Kusno bukanlah semata-mata karena sering sakit di waktu kecil. Tapi karena nama Kusno dianggap tidak sedap didengar di telinga.
Mungkin saja sama kasusnya dengan Soekarno. Alasan Anies mengganti nama-nama fasilitas umum di Jakarta karena nama-nama itu tidak enak didengar. Hehehe. (I76)