“Itu partai 50–an semua. NasDem 59, PKB 58, Demokrat 54, PKS 50. Partai 50–an. Partai gocap. koalisi gocap” – Willy Aditya, Ketua DPP Partai NasDem
Tensi politik di awal tahun 2023 tampaknya akan semakin memanas dibanding tahun sebelumnya. Drama politik, berupa “akrobatik” politik di media sosial (medsos), semakin masif dijumpai. Seolah selalu berlanjut dari satu episode ke episode lainnya, drama politik seakan menawarkan hiburan layaknya sebuah film.
Salah satu drama politik yang menjadi atensi warganet paling hangat adalah wacana bergabungnya PKB ke dalam koalisi perubahan untuk mendukung Anies Baswedan pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Partai NasDem menyambut baik wacana kerja sama politik tersebut. Ketua DPP Partai NasDem Willy Aditya menyebut PKB dan NasDem sebagai saudara lama sesama partai koalisi. Komunikasi antara dua partai tersebut tak lagi asing.
Menurut Willy, posisi PKB akan kian menguatkan gelombang perubahan dalam koalisi tersebut. Bergabungnya PKB membuat koalisi antara NasDem, Demokrat, PKS, dan PKB bisa juga disebut “Koalisi Gocap”.
Pasalnya, masing-masing partai berhasil mengirimkan 50 lebih kadernya di lembaga legislatif pusat, yakni DPR RI 2019-2024 – terdiri dari NasDem (59), PKB (58), Demokrat (54), dan PKS (50).
Anyway, penyebutan istilah seperti gocap, cepek, gopek, goceng, dan ceban kerap kali digunakan untuk mengganti besaran nominal rupiah tertentu. Istilah ini merupakan bilangan Mandarin yang biasa digunakan suku Tionghoa berdialek Hokkien.
Nah, pengertian gocap yang bermakna lima puluh selaras dengan istilah “Koalisi Gocap” di atas – yang mana partai-partai pengusungnya mempunyai suara di parlemen kurang lebih ada lima puluh orang.
Kalau dilihat-lihat sih, jadi koalisi besar nih pendukung Anies jika benar PKB akan bergabung. Namun, apakah dukungan setiap partai itu akan full seratus persen ke Anies ataukah dukungannya juga dukungan gocap – yakni dukungan lima puluh persen?
Yap, jangan lupa lima puluh juga bisa dimaknai setengah loh. Artinya, dukungan kepada Anies tidak begitu saja dimaknai positif – apalagi di tengah kondisi politik yang saat ini serba pragmatis.
Pragmatisme politik ini sejalan dengan dalil terkenal dari seorang ilmuwan politik, Harold D. Lasswell yang mendefinisikan politik dengan kalimat, “siapa mendapatkan apa, di mana, dan bagaimana.” Sederhananya, politik adalah ruang adu narasi, negosiasi, dan lobi untuk mendapatkan sesuatu.
Tendensi negatif ini muncul sebagai akibat dari nafsu berkuasa dan, sering kali, orientasi ini membawa para aktor politik ke arah sikap yang lebih mementingkan tujuan untuk berkuasa ketimbang kerja sama secara adil.
Dalam tataran paling umum, pragmatisme memiliki pengertian bahwa kepercayaan atas sebuah kebenaran atau nilai suatu ajaran bergantung pada penerapannya bagi kepentingan manusia.
Firmanzah dalam bukunya Mengelola Partai Politik: Komunikasi dan Positioning Ideologi Politik di Era Demokrasi mengatakan kalau pragmatisme politik adalah tindakan yang memiliki orientasi jangka pendek dari para aktor politik untuk dapat memenangkan persaingan politik.
By the way, ngomongin dugaan dukungan setengah hati, jadi ingat penggalan syair lagu Ada Band yang berjudul “Setengah Hati” yang bunyinya seperti berikut:
Mungkin ku tak akan bisa jadikan dirimu kekasih
Yang seutuhnya mencintaiku
Namun kurelakan diri
Jika hanya setengah hati
Kau sejukkan jiwa ini
Hmm, syair lagu ini bisa jadi renungan bagi NasDem dkk sih. Meski dukungan bertambah, perlu untuk mengoreksi apakah dukungan itu sepenuh hati ataukah hanya setengah hati. Bener nggak ya? Hehe. (I76)