“Maka sangat mungkin Anies Baswedan menjadi penonton pada 2024 yang akan datang”. – Saiful Anam, Pengamat politik
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan digadang-gadang menjadi salah satu kandidat kuat pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 mendatang. Meski demikian, berhembus narasi bahwa Anies terancam gagal nyapres jika tidak ada partai politik (parpol) yang mengusungnya.
Ini misalnya disampaikan oleh pengamat politik Saiful Anam yang mengisyaratkan peluang Anies tertutup jika belum ada dukungan parpol. Apalagi, setelah tidak lagi menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta membuat Anies kehilangan panggung politik. Anies bahkan bisa saja hanya menjadi penonton di Pilpres 2024.
Pernyataan ini mungkin tidak berlebihan jika melihat struktur politik kepartaian kita yang masih didominasi oleh para elite tertentu. Restu elite seolah-olah menjadi rekayasa politik yang harus diterima begitu saja oleh masyarakat.
Direktur Eksekutif Kajian Politik Nasional Adib Miftahul, mengistilahkan para elite tersebut dengan oligarki kepartaian. Di tangan merekalah disepakati siapa yang akan maju dan siapa yang tidak boleh maju.
Dia juga menyebut pola tersebut sebagai “Politik Tingkat Dewa”. Dampak dari pola semacam ini pernah dialami Mahfud MD ketika gagal menjadi calon wakil presiden di pemilihan 2019 lalu.
Gagalnya pencalonan Mahfud dinilai karena adanya perubahan kesepakatan para elite politik. Sederhananya, semua keputusan kembali tergantung pada deal-deal para elite parpol, yang biasanya terjadi pada detik-detik terakhir pencalonan.
Seolah menjadi tradisi, parpol cenderung memastikan pasangan calon dalam konstalasi politik di saat-saat terakhir jelang pendaftaran. Semacam politik last minute gitu nggak sih?
Tentu pertanyaannya adalah apakah pola seperti ini salah?
Jawabanya, tidak sepenuhnya salah, bahkan bukan sebuah pelanggaran dalam penyelenggaraan Pemilu. Bisa jadi, langkah seperti itu sebagai bentuk kehati-hatian atau bagian dari taktik atau siasat untuk merengkuh kemenangan.
Tapi, dalam konteks Anies sebagai calon kandidat yang bukan merupakan anggota partai, tentunya hal ini cukup mengkhawatirkan. Anies mungkin saja akan terpenjara oleh ketidakpastian para elite partai yang menggunakan pola last minute.
Dalam konteks yang lebih luas, mengumumkan calon saat last minute juga kurang bagus dalam upaya mewujudkan demokrasi yang baik. Ini karena masyarakat sebagai pemilih tidak mempunyai banyak waktu untuk menguji dan mengevaluasi kandidat tersebut.
Hmm, pola politik semacam ini mungkin saja terinspirasi dari idiom yang tidak asing di telinga kita yang bunyinya: “Jika bisa diperlambat, kenapa harus dipercepat”. Hehehe. (I76)