“Tentu proses membangun chemistry antara satu dan yang lain penting, bukan kawin paksa,” – Willy Aditya, Ketua DPP Partai NasDem
Siapa yang tidak kenal dengan Siti Nurbaya? Ya judul lengkapnya Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai, merupakan sebuah karya sastra besar karangan Marah Roesli yang terbit sekitar tahun 1920. Menceritakan kawin paksa antara gadis desa dengan saudagar kaya yang tidak ia cintai.
Perjodohan Siti Nurbaya dengan Datuk Maringgih hanyalah keterpaksaan atas nama pengabdian kepada orang tua, serta kekuatan harta yang membuat segalanya menjadi mungkin diwujudkan. Lantas, mungkinkah kawin paksa juga terjadi di atas panggung politik?
Baru-baru ini, Ketua DPP Partai NasDem, Willy Aditya sempat menyebutkan bahwa wacana duet Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dengan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) di Pilpres 2024, jangan sampai seperti kawin paksa.
Bagi Willy, banyak hal lain yang patut dipertimbangkan dengan matang, salah satunya ialah membangun chemistry antara kedua pihak. Lebih jauh, duet Anies-AHY harus mendapatkan restu dari partai koalisi yang mengusungnya.
Sama seperti pandangan Willy, secara umum sebagian orang setuju kalau kawin paksa bukan cara yang terbaik untuk membina mahligai rumah tangga. Karena yang terpenting dalam pernikahan adalah komitmen kedua pihak untuk terus bersama, baik dalam suka dan duka, sampai ajal. So Sweet. Hehehe.
Btw, ada benarnya sih kalau duet Anies-AHY perlu penguatan yang sifatnya kualitatif, agar duet ini bisa lebih matang ketika kontestasi telah berjalan. Mungkin juga akan terkesan terburu-buru, jika partai hanya bersandar pada pertimbangan kuantitatif, seperti hasil survei.
Namun, kenapa NasDem seolah mengoreksi kembali duet Anies-AHY di pertengahan proses mengerucutnya koalisi dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Demokrat? Bukankah duet ini merupakan aspirasi akar rumput dari ketiga partai tersebut?
Kepala Departemen Politik CSIS, Arya Fernandes mengatakan bahwa NasDem dan PKS dinilai akan cenderung ke Anies, sedangkan Partai Demokrat dengan AHY. Kedua tokoh itu memiliki magnet elektoral yang berpotensi menyatukan tiga partai dalam satu koalisi.
Pada akhirnya, tuntutan NasDem agar duet Anies-AHY harus lebih dulu membangun chemistry, menjadi sebuah misteri bagi dua partai lain, yaitu PKS dan Demokrat.
Ataukah hal ini masih punya keterkaitan dengan posisi NasDem yang saat ini masih menjadi partai pendukung pemerintah. Jika mendukung duet Anies-AHY yang dianggap sebagai duet oposisi, tentunya akan membuat NasDem ditandai sebagai partai yang berbeda jalur dengan pemerintah.
Hmm, jika benar demikian, maka NasDem perlu tegas untuk mengambil sikap sih. Apa mau tetap di jalur saat ini ataukah berani banting setir. Mungkin lebih gampang kalau hanya banting setir, daripada banting supirnya. Nanti bisa jadi berantem dong. Hehehe. (I76)