Ketua Umum PSI Giring Ganesha mengklaim bahwa kritiknya terhadap pembangunan sirkuit Formula E menjadi motivasi terselenggaranya balapan tersebut. Lantas, apakah ini bukti dukungan Giring terhadap Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan?
Penyerahan piala pada podium Formula E yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dan Ketua Panitia Ahmad Sahroni, rupanya bukan akhir dari drama politik perseteruan Anies dan Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Giring Ganesha.
Giring bernyanyi kembali, menyebut dirinya yang berjasa dalam suksesnya perhelatan Formula E di Jakarta. Menurutnya, pembangunan sirkuit Formula E termotivasi oleh aksinya dulu saat mengecek langsung lokasi hingga muncul adegan kejeblos di lumpur.
Selepas penyelenggaraan Formula E, Giring muncul dan mengklaim Formula E bisa terselenggara karena terus dikawal oleh PSI. Seolah setiap kritik yang dilakukan oleh Giring dan PSI adalah bentuk lain dari dukungan mereka terhadap kebijakan Gubernur Anies.
Polemik Anies dan Giring sering ditampilkan sebagai perseteruan dua spektrum yang berbeda. Tidak berlebihan jika Anies dianggap memainkan peran protagonis karena asosiasi dirinya sebagai capres mengharuskannya sebagai orang baik. Sedangkan Giring memainkan peran sebaliknya, yaitu karakter antagonis.
Hmm, jika benar begitu, apakah Giring ingin menampilkan dirinya sebagai antagonis seperti Joker dalam film Batman? Seperti yang diketahui, karakter Joker identik dengan kekejaman dan kriminalitas yang tinggi.
Tapi jika ditelisik lebih dalam, ternyata karakter Joker bisa kita pisahkan antara kejahatan dan pesan moral yang dapat diambil darinya. Salah satunya adalah cara berpikir seorang Joker yang cerdas dan penuh perencanaan yang tidak terduga.
Lantas, seperti halnya Joker, apakah benar kritik Giring itu direncanakan, atau memang by design sebelumnya?
Selama ini Giring seolah hanya menampilkan sikap sebagai eksekutor. Kritik Giring lebih terkesan “serampangan”, hingga banyak yang menilainya melakukan blunder ketika mengeluarkan pernyataan.
Selain itu Giring juga terlihat hanya berfokus pada permasalahan Jakarta. Harapannya, tingkatan ketua umum partai seharusnya mengurus masalah pada level nasional. Sikap politik ini yang seolah memperlihatkan dirinya tidak memiliki karakter sebagai seorang politisi pemikir, melainkan politisi operator.
Dalam artikel PinterPolitik sebelumnya, Giring dan PSI Hanya Bidak Politik?, telah dijelaskan bahwa politisi dibagi dalam dua karakter. Pertama adalah polisi pemikir dan yang kedua adalah politisi operator. Politisi pemikir biasa disebut sebagai the thinker, jumlahnya lebih sedikit dan berfokus pada persoalan perencanaan strategi dan taktik politik.
Sementara, karakter kedua, yaitu politisi operator memainkan peran sebagai eksekutor lapangan. Pengetahuan mereka tentang strategi sangat minim, kategori ini hanya menjalankan bagian tertentu dan fungsinya lebih menitikberatkan pada terlaksananya strategi.
Well, mungkin dapat dikatakan berlebihan jika kritik Giring dianggap sebagai indikator keberhasilan penyelenggaraan Formula E kemarin. Dan mungkin tidak berlebihan jika mengatakan bahwa kritik Giring sebenarnya hanya memperlihatkan cara lain dalam mendukung Anies. Mungkin semacam benci tapi cinta gitu lah. (I76)